Mohon tunggu...
ummu zahra khoirunnisa
ummu zahra khoirunnisa Mohon Tunggu... Diplomat - Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro

Bumi memang bulat, luas dan terlihat menyeramkan. Aku ingin melaluinya, rasanya seperti ketagihan. Walau bulatan itu, belum terlewati sempurna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjamurnya Lulusan Predikat Cumlaude Pada Level Sarjana: Keharusan atau Gengsi

27 April 2024   21:44 Diperbarui: 27 April 2024   21:47 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Pinterest

Mendapatkan nilai sangat memuaskan saat kelulusan, menjadi dambaan bagi setiap pelajar.  Universitas sendiri telah menyajikan  beberapa kategori pemberian nilai bagi mahasiswa yang masuk kedalam kategori penilainan. Cumlaude (3,51 - 3,6), Magna Cumlaude (3.61 - 3,79) dan Summa Cum Laude (3,99 atau 4,00) IPK. Penilain tersebut nantinya diberikan bagi mahasiswa yang memenuhi kriteria dan pengharagaan tersebut disebutkan saat nama mahasiswa dipanggil dan di persilakan untuk maju ke depan bertemu dengan jajaran tinggi kampus yang akan mewisuda mahasiswa. 

Panggilan tersebut didengar oleh mahasiswa lainnya yang bahkan tidak pernah kenal sekalipun dan tentunya bisa menjadi kebanggaan orang tua disaat menghadiri acara wisuda anaknya. Namun, saat ini penerima cumlaude sudah berubah menjadi suatu fenomena dan bukan menjadi sesuatu yang langka. Perubahan tersebut akan terasa dari angkatan sebelum-sebelumnya, dimana mereka dapat meraih gelar-gelar tersebut hanya beberapa mahasiswa dari satu angkatannya. 

Tentu hal tersebut merujuk pada hal postitif, mahasiswa Indonesia membuktikan bahwa mereka bisa mendapatkan nilai memuaskan dan lulus dengan waktu yang cepat dibandingkan dengan prosedur waktu yang sudah ditentukan untuk rentang waktu studi. Pengamatan dari sisi lain yang bisa diberikan adalah gelar-gelar tersebut bisa merubah dan membentuk pada diri mahasiswa menajdi suatu nilai mewah yang didapatkan mahasiswa. 

Sehingga mahasiswa yang tidak mendapatkan peringkat tersebut, dinilai ataupun dianggap berbeda. Kepintaran mahasiswa menjadi tolak ukur dari penerimaan gelar tersebut, dan adanya anggapan penerima gelar dengan nilai-nilai sangat memuaskan menjamin kehidupan mahasiswa tersebut. Termasuk kehidupan setelah lulus dan jaminan tersebut dapat mengantarkan dalam mendapat pekerjaan.

Bila di tarik dari satu sisi lain, makna dari penerimaan penghargaan atas nilai memuaskan ini menjadi sedikit bergeser. Sebagai mahasiswa tentu saya bisa mengetahui bagaimana beberapa mahasiswa menggunakan beragam cara untuk mendapatkan gelar tersebut. Fenomena ini dapat mendorong kemungkinan-kemungkinan buruk mahasiswa untuk mendapatkan penghargaan tersebut, meskipun mendapatkan nilai memuaskan itu baik. Menjamurnya jasa joki tugas di sosial media, jika anda-anda bisa lihat dan mengetahuinya, karena terpampang nyata akun-akun penjual jasa joki tugas maupun skripsi. Beberapa mahasiswa yang saya ketahui, bahkan menggunakan jasa tersebut untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Agar mampu menyelesaikan tepat waktu dan mendapatkan nilai, pengajar atau dosen pun tidak mengetahui hal tersebut.

Kekhawatiran saya dari fenomena ini adalah fokus mahasiswa yang hanya tertuju dengan penerimaan gelar prestige atas nilai memuaskan, bukan pada proses yang dikerjakan. Kecepatan diinginkan mahasiswa agar segera lulus dari perkuliahan dan mendapatkan nilai memuaskan, menjadi cita-cita dari setiap mahasiswa saat ini. Jika anda ingin membuktikannya, maka coba berikan pertanyaan mengenai topik ini kepada mahasiswa-mahasiswa yang anda kenal saat ini. Dorongan yang diberikan bukan saja dari penglihatan mahasiswa terhadap pencapaian mahasiswa lainnya, namun dapat diberikan dari lingkungan keluarga sendiri.

Harapan saya setelah menuliskan tulisan ini adalah dapat memberikan informasi baru mengenai fenomena yang sedang marak terjadi. Dapat menambah sudut pandang lain untuk melihat fenomena tersebut. Fenomena ini dapat mengarah pada pandangan positif dan juga negatif. Kekhawatiran yang saya rasakan adalah bagaimana peningkatan mahasiswa -mahasiswa diluar sana yang akhirnya ingin melakukan dengan cepat-cepat, meninggikan ego dan gengsi nya, mengusahakan berbagai cara meskipun dengan cara yang tidak seharusnya. Proses belajar yang seharusnya dapat dinikmati unutk mendapatkan pengetahuan baru, justru hanya sekedar untuk mendapapatkan ijazah dan penghargaan prestige dengan nilai memuaskan di perkuliahan. Beberapa di antara mahasiswa saat ini sangat mengkhawatirkan pandangan orang lain terhadapnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun