Suatu hari aku menemukan kawanku berkata begini:
"Hei, aku melihat banyak yang suka membaca hal aneh di kota ini. Seperti sebagian kecil dari kita. Aku ingin membuatnya jadi sebuah komunitas. Kumpulan orang-orang bermanfaat dan bermartabat. Namanya, Kota Kecil Membaca."
Kupikir, hummm bagus juga. Rasanya aku pernah memikirkan itu. Sudah lama. Hanya saja tak pernah mengeksekusinya. Kapan lagi mengeksekusinya? Ini kesempatan bagus. Bagus untuk branding media sosialku. Lagipula aku sudah lama memikirkannya.
Kutunggu kalimat selanjutnya dari kawanku. Rupanya ia hanya berencana. Belum akan melakukannya. Ah, lama. Ini kesempatan bagus buatku sehingga aku dikenal di kota kecil itu. Persetan dengan kelambatan kawanku.
Berkoar-koarlah aku di media sosial. Membuat akun baru. Namanya Kota Kecil Membaca. Kusebut akulah penemunya. Ya, memang aku penemunya, jauh sebelum kawanku mengatakan itu. Komunitas yang sejenis sebenarnya, hanya belum punya nama waktu itu. Kebetulan kawanku ini menyebut namanya, jadi kupakailah. Tak apa. Hanya sebuah nama kok.
Lama aku mengembangkan Kota Kecil Membaca. Sekarang sudah berkembang pesat. Followers-nya jutaan. Kawanku sudah lama hengkang. Lalu, orang itu menghubungiku lewat sebuah DM Instagram.
"Hei, Kawanku, apakah kau tahu selama ini kau mencuri ideku?"
"Maaf, ide yang mana ya?"
"Kota Kecil Membaca itu."
"Kenapa kau sebut aku mencurinya?"
"Karena itu ideku dan kau yang mengakuinya."