MAKASSAR - Sabtu pagi (1/10), Praktikum Dasar Reproduksi Ternak kembali dimulai untuk tahun ajaran 2011 awal. Praktikan didominasi oleh mahasiswa peternakan angkatan 2009 dari tiga jurusan berbeda. Sebanyak 50 biodata peserta yang terkumpul. Lebih sedikit dari tahun-tahun lalu.
[caption id="attachment_141125" align="alignnone" width="320" caption="organ yang berisi embrio umur sekitar 4 bulan"][/caption] Materi pertama dimulai dengan pengenalan alat reproduksi betina. Sampel yang digunakan adalah organ reproduksi Sapi Betina. Bagian dari organ yang diamati adalah vulva, klitoris, vagina, cervix, uterus, oviduck, dan ovarium. Satu dari tiga organ yang ada nampak berda dengan yang lain. Untuk organ yang berada di kelompok dua memiliki ukuran ovarium kiri 2,7 cm sedang ovarium kanannya 2 cm. Ovarium dari organ yang lain juga memiliki rerata diameter 2 cm. Ovarium yang memiliki ukuran besar ini dipengaruhi adanya Corpus Luteum (CL) yang aktif ditandai dengan besarnya CL dibanding folikel antrum. Berfungsi untuk menghasilkan hormon progesteron ketika ternaknya bunting. Dan memang, ukuran dari tanduk uterus terlihat lebih besar karena sedang berisi embrio. Plasenta sebagian besar mengisi ruang tanduk uteri. Ketika organ ini diraba, sama seperti ketika meraba balon yang diisi air dan terdapat batu yang pas di genggaman. Diperkirakan fetus suda berusia 4 bulan. Sudah menjadi tradisi memang, ketika paginya ingin praktikum, dini hari sekitar pukul 02.00 asisten bertugas untuk membeli organ reproduksi betina langsung pada penjagal di RPH seharga Rp250 ribu untuk tiga organ lengkap. Didapatinya, organ yang digunakan sebagai sampel praktek dalam keadaan berisi. Ini diindikasikan bahwa sering terjadi penyembelihan ternak bunting. Padahal, ketentuan hewan ternak yang siap disembelih diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang larangan penjagalan sapi dan kerbau produktif. Sanksi yang dikenakan adalah pidana penjara 3 hingga 9 bulan serta denda Rp 5 juta sampai maksimal Rp 25 juta. Selain larangan itu, penyembelihan sapi atau kerbau betina bunting juga tidak diperbolehkan. Sanksinya denda Rp 5 juta sampai Rp 500 juta. Kejadian seperti ini, sudah sering terjadi. Bahkan, ketika berkunjung ke RPH Antang, tak jarang ditemui janin sapi yang berumur 5 bulan, 6 bulan tergeletak di got tempat mengalirnya darah hasil penyembelihan sapi. Wajar ketika hal ini terjadi. Menurut penjaga RPH, sapi yang datang berasal dari NTT dan malamnya akan langsung disembelih tanpa menyeleksi induk sapi yang produktif dan bunting. Pemeriksaan post mortem oleh dokter hewan, yang notabene memiliki kantor tersendiri di dekat RPH, belum bisa memberikan peran yang maksimal. Masih banyak yang mesti dibenahi oleh pemerintah, apalagi visi Makassar sebagai swasembada daging di 2014. Hal-hal kecil seperti ini perlu mendapat perhatian bagi petinggi. Dan lagi, peraturan yang dibuat memang untuk dilanggar. Buktinya, apakah sanksi berupa denda dan hukuman pidana sudah berlaku bagi para penjagal atau pemilik RPH? Belum ada efek jera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H