Mohon tunggu...
Ummu Kulsum
Ummu Kulsum Mohon Tunggu... Wiraswasta - mompreneur

ingin menjadi manusia yang bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perjalanan Hidup bersama Skripsi dan Calon Buah Hati

3 Februari 2023   02:35 Diperbarui: 3 Februari 2023   02:44 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Memutuskan menikah di semester akhir perkuliahan bukanlah hal yang mudah. Saat itu, aku sedang berkutat dengan skripsi dan mengambil akhir pekan untuk menikah. Banyak yang berkomentar pilihanku sangatlah "nanggung". Mereka bilang kenapa tidak menunggu wisuda saja, kenapa tidak menunggu mapan secara finansial, dan banyak kalimat lain seolah keputusanku tidak tepat. 

Namun, aku tetap tegar karena pernikahan ini bukanlah permainan, semua sudah dipertimbangkan secara matang. Suamiku yang baru wisuda enam bulan sebelumnya, sudah cukup baik secara finansial untuk membiayai hidup keluarga kecil kami. Dia juga sudah memahami dengan baik tanggung jawab, hak dan kewajiban dalam berumah tangga. Aku juga sudah melakukan konsultasi pra-nikah, jadi sudah sangat siap secara mental untuk menikah.

Aku tidak mengambil cuti, karena berfikir akan segera menyelesaikan skripsi dengan cepat. Akan tetapi, suratan takdir berkata lain. Ternyata begitu sulit mengatur jadwal bimbingan dengan dosen. Padahal, aku begitu gigih menyusun skripsi bahkan sampai lembur. Satu bulan setelah menikah, tes kehamilan menunjukkan hasil yang positif. Kami sangat bahagia sekaligus khawatir, karena ini pengalaman pertama, dan saat itu aku berusia 22 tahun dimana masih tergolong muda bagi lingkungan sekitarku. Jadi, saat itu ada dua hal yang harus diperhatikan secara bersamaan, skripsi dan calon buah hati.

Aku sengaja tidak memberitahu teman-teman tentang kehamilan pertamaku, karena enggan menjadi bahan ledekan. Masuk bulan kedua, aku mulai merasakan morning sickness. Untuk  keamanan dan kenyamanan seorang ibu hamil, aku tidak ke kampus satu bulan penuh. Tidak berkomunikasi dengan dosen pembimbing, tapi masih berinteraksi dengan teman-teman di media sosial. Fokus istirahat, memperbanyak asupan vitamin dan mengatur kegiatan makan yang sedang diuji.  Mencoba menguatkan diriku, karena masih besar tekad untuk menyelesaikan kuliah agar tidak mengecewakan orang tua.

Ada hikmah dibalik sulitnya kegiatan bimbingan skripsi. Saat aku gagal berkonsultasi dengan dosen pembimbing, entah karena jadwal beliau yang padat atau tiba-tiba mendapat tugas ke luar pulau, bahkan  ke luar negeri, aku banyak membaca di kampus. 

Membaca buku atau jurnal referensi, juga membaca Al-Quran. Skripsi yang aku susun, secara mandiri aku koreksi kekurangan atau kesalahannya. Dan benar saja, hanya perlu dua kali revisi skripsiku langsung disetujui dosen pembimbing. Tentunya ini seperti keajaiban, dimana banyak teman yang sampai lima kali revisi atau bahkan lebih. Ada pula yang harus ganti judul penelitian karena sudah tidak cocok dengan dosennya, dan pastinya meskipun hanya sedikit, ada yang menyerah dan berhenti kuliah hanya sampai di tahap ini.

Kehamilan pertama ini terasa sebagai pelipur lara sekaligus penguat saat menyelesaikan skripsi yang penuh drama. Saking lamanya menunggu skripsi selesai, aku sampai berfikir, bagaimana nanti jika aku tiba-tiba kontraksi di depan ruang dosen dan melahirkan di kampus. Tapi hal itu tidak terjadi, karena hari dimana buah hatiku lahir ke dunia, urusan skripsi sudah beres.

Sering ke kampus saat hamil membuatku lebih bahagia, daripada di rumah saja menunggu suami pulang kerja. Dosen-dosenku pun sangat menghargai, tidak ada satu pun yang mencela. Sering juga mendapatkan bimbingan dari mereka tentang kehamilan. Salah satu dosen menyemangatiku bahwa anakku nanti akan menjadi anak yang cerdas karena diajak ibunya belajar. Aku hanya tersenyum dan mengaminkan. Alhamdulillah, anak pertamaku tumbuh kembangnya sangat bagus, dan di sekolah pun berprestasi. Bagiku, itu adalah bonus yang sangat istimewa.

Begitulah, sekelumit kisah perjuanganku delapan tahun yang lalu. Sebenarnya berat menjalaninya, tapi dengan dukungan keluarga dan orang-orang yang aku temui, aku selalu memiliki energi untuk tidak menyerah. sebuah perjalanan berharga yang takkan pernah kulupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun