Bertepatan dengan momen Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442 H, hari Kamis (20/8/20), lebih dari 250.000 warganet mendaftar dan mengikuti acara Nonton Bareng Film Dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN). Film ini mengingatkan kita bahwa pernah ada jejak sebuah negara adidaya yang bernama Khilafah Islamiyah yang telah memberikan banyak sekali pengaruh dan sumbangsih bagi kehidupan kita saat ini.
Acara Nobar ini diawali dengan tausiyah singkat yang disampaikan Ustadz Rokhmat S Labib, kemudian sebagai pengantar tayangan film JKDN, ada sesi bincang-bincang dengan tiga orang narasumber, salah satu di antaranya adalah sutradara film JKDN, Nicko Pandawa. Setelah penayangan film, dilanjutkan kembali dengan bincang-bincang dan ditutup dengan closing statement dari Ustadz Rokhmat S Labib.
Dalam tausiyah singkatnya, Ustadz Rokhmat S Labib menyampaikan bahwa peristiwa hijrah Nabi saw. –yang ditetapkan di masa Khalifah Umar bin Khaththab– merupakan awal tarikh (sejarah) Islam, sekaligus tonggak tahun pertama (1 Muharram) bagi umat Islam. Secara esensi, hijrah adalah pemisah antara haq dan batil. Maka setelah hijrah, kondisi umat Islam berubah menjadi ummah qowwiyah (umat yang kuat) dan ummah ‘azhimah (umat yang besar), yang kemudian memiliki sebuah dawlah (negara) dan di atas negara itulah kemudian Islam ditegakkan.
Negara Islam pertama dipimpin oleh Nabi saw. di Madinah al-Munawarah hingga wilayah kekuasaan meluas ke seluruh Jazirah Arab. Setelah wafatnya Nabi saw., kepemimpinan negara yang beliau wariskan, dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dan khalifah-khalifah setelahnya, hingga masa keruntuhan Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924 M. Setelah runtuhnya Khilafah, praktis umat Islam tak punya negara dan berubah nasibnya dari umat yang kuat dan besar, menjadi umat yang mudah ditaklukkan.
Sebagai penutup tausiyah, Ustadz Rokhmat menegaskan, “Maka jika ingin kita kembali kepada kemuliaan Islam, kita kembali umat Islam menjadi umat yang besar, ummah azhimah, ummah qowwiyah, ummah karimah, maka tak ada pilihan lain kecuali dengan mengembalikan Khilafah seperti sebelumnya.” Khilafah jugalah yang menyebarkan Islam ke negeri ini dan jejak-jejaknya dapat disaksikan di dalam film JKDN.
Sementara dalam sesi bincang-bincang, diuraikan oleh Ustadz Ismail Yusanto, Penasehat Komunitas Literasi Islam (KLI), bahwa sejarah adalah kisah yang mengandung ibrah (pelajaran). Ibrah bisa didapat tergantung bagaimana sejarah itu diceritakan atau ditulis atau difilmkan. Jika sejarah ditulis secara benar maka ibrah yang didapat akan benar. Namun sebaliknya, jika sejarah ditulis secara salah maka ibrah yang didapat pun akan salah. Dengan kata lain, sejarah dikatakan sebagai second hand reality (realitas tangan kedua) yang sangat tergantung kepada siapa yang menuturkan atau menuliskannya. Latar belakang dari penulis sejarah pun sangat berpengaruh. Karena inilah, kadang terjadi pengaburan dan penguburan sejarah.
Dengan demikian, penting untuk menggali kebenaran sejarah (digging up the truth) selain menggali masa lalu (digging up the past). Ustadz Ismail mengatakan, film JKDN sendiri dibuat dengan dua kerangka tersebut. Namun, kedudukan sejarah bukanlah sebagai sumber hukum (mashdarul hukmi) dan sumber pemikiran (mashdarul tafkir), tapi merupakan obyek pemikiran/kajian (mawdhul tafkir). Artinya, sejarah hanya sebagai pelengkap yang memperkuat pemahaman atau ajaran. Sehingga sekalipun tidak ada jejak khilafah di Nusantara, bukan berarti Khilafah tidak penting atau tidak wajib.
Septian sebagai penulis naskah film menyampaikan, film JKDN hadir dalam rangka menjawab tantangan jaman. Khilafah sedang menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat Indonesia bahkan dunia, dan menjadi topik yang paling panas di dunia. Kemudian terketuk untuk menghadirkan riwayat atau kisah tentang Khilafah di tengah-tengah masyarakat Indonesia dengan tampilan format yang lebih menarik dan belum ada film-film yang menjelaskan tentang hubungan Khilafah dengan Nusantara. Septian pun memberikan jaminan bahwa film JKDN ini adalah tontonan yang memiliki nilai akademis dan ilmiah.
Dalam proses pembuatan filmnya, sang sutradara, Nicko Pandawa, memastikan bahwa film ini berlandaskan dari riset-riset yang sudah dilakukan sebelumnya, berdasarkan sumber primer dan sekunder, data-data pustaka dan lapangan yang tersebar dari ujung Sumatera sampai ke Timur Indonesia. Inilah yang dikatakan sebagai proses yuristik (mencari data). Setelah itu, masuk proses verifikasi dan proses interpretasi. Dalam proses interpretasi, dilakukan penerjemahan sumber-sumber yang didapat untuk dijadikan sebuah narasi atau historiografi yang dikemas berbeda dengan yang lazim dilakukan oleh kalangan akademisi. Sehingga dapat dikatakan, film JKDN merupakan bentuk audio visual yang menghadirkan hasil penelitian yang mudah dicerna oleh semua pihak.
Setelah penayangan film JKDN, bincang-bincang masih berlanjut. Ustadz Ismail menggambarkan peninggalan-peninggalan yang ada di film, maka menjadi jelas bahwa Khilafah itu ada secara ajaran, secara historis pernah diterapkan, bahkan area pengaruhnya sampai ke Nusantara. Ditunjukkan di periode awal, masa Khilafah Bani Umayyah mengirimkan para ulama ke Sriwijaya. Juga di periode selanjutnya, adanya bai’at dari Aceh kepada Sultan Salim II. Dengan demikian, ada link up (hubungan sultan-sultan yang ada di Nusantara dengan kekhilafahan mulai periode awal sampai periode akhir) dan link down (adanya bantuan dari khilafah saat melawan pasukan Portugis). Perjuangan penegakan Khilafah memiliki landasan historis yang kokoh selain landasan normatif yang jelas. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam dan hukumnya fardhu kifayah. Maka aneh jika ada yang mengatakan bahwa perjuangan Khilafah itu ahistoris.
Di akhir acara, Ustadz Rokhmat S Labib menyampaikan tiga pesan. Pertama, Islam dan kekuasaaan keduanya memiliki hubungan yang erat tidak bisa dipisahkan, sebagaimana yang dikatakan Imam Al Ghazali bahwa agama dan kekuasaan ibarat saudara kembar.