Tepi hutan pinus. Pagi.  Udara dingin menusuk tulang.  Ketika jam di dapur  menunjukkan pukul enam. Anak-anak sudah berangkat ke sekolah.Â
Suamiku sedang membaca buku sambil menyeruput wedang kopinya. Sementara itu aku mempersiapkan bekal makan  suamiku yang hendak berangkat ke sawah.
Aku mengambil  "furoshiki" dari dalam almari dapur. Furoshiki, kain pembungkus khas Jepang itu hadiah dari  Masako Taeishi, keluarga angkat suamiku saat magang pertanian  di Jepang sekian tahun yang lalu.
Nasi dari "rice cooker" yang masih hangat, tempe bacem, dua irisan mentimun dan sambal bajak kumasukkan ke kotak bekal. Lalu aku membungkus kotak bekal tersebut dengan "furoshiki". Â
Setelah menaruh kotak bekal di atas meja dapur, aku pergi ke kamar mandi sebentar. Begitu ke luar dari kamar mandi, aku menggigil kedinginan.
Suamiku cepat- cepat menghampiriku dan mendekapku beberapa saat. Setelah itu segera membawaku  ke kamar.
Aku menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur.
"Bagaimana, Umi? Terasa  hangat kan?" tanya suamiku sambil menyelimuti tubuhku dengan selimut tebal.
Aku mengangguk pelan, "Alhamdulillah. Sudah berkurang dinginnya."
"Kalau begitu sekarang Abi mau ke sawah," kata  suamiku. Â