Mohon tunggu...
Ummu Finisya
Ummu Finisya Mohon Tunggu... -

Dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebijakan Plastik Berbayar, Kebijakan Setengah Hati yang Merugikan Rakyat

3 Maret 2016   23:24 Diperbarui: 4 Maret 2016   00:36 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terhitung sejak tanggal 21 Februari 2016, pemerintah memberlakukan kebijakan plastik berbayar pada pembelanjaan dalam swalayan di 23 kota. Asisten Deputi Pengelolaan Sampah Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sudirman menyebut, saat ini pemerintah tengah fokus melakukan sosialisasi dan edukasi penerapan kebijakan plastik berbayar di 23 kota. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat sekaligus mengedukasi masyarakat agar mengurangi konsumsi plastik ketika berbelanja di swalayan. 


Pemberlakuan kebijakan ini diharapkan sedikit banyak akan mengedukasi masyarakat untuk membatasi penggunaan plastik, yang diyakini tidak ramah lingkungan karena memerlukan waktu hingga ratusan tahun untuk dapat terurai di dalam tanah. Dalam jangka panjang, masyarakat diharapkan dapat merubah gaya hidup, khususnya dalam kaitannya dengan penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari.


Tujuan pemerintah untuk memperbaiki cara pandang masyarakat dalam penggunaan plastik perlu diapresiasi, terlebih data statistik memang menunjukkan kecenderungan peningkatan limbah plastik yang menjadi beban lingkungan. Namun yang patut disayangkan adalah kebijakan ini tidak lah menyentuh akar masalah, bahkan memunculkan masalah baru bagi rakyat, yaitu penambahan bea belanja dari biasanya. 


Kebijakan ini lebih dirasakan sebagai pembebanan atas pundak rakyat daripada mengurangi limbah plastik, karena plastik berbayar tidak menyentuh produsen/pabrik plastik sama sekali. Artinya produksi jalan terus setiap saat, tanpa ada kendali dari pemerintah. Disamping itu penyediaan fasilitas kantong plastik oleh pihak swalayan kini sepenuhnya dibebankan kepada konsumen. Inilah sistem yang memanjakan para pebisnis, dan mencekik rakyat dengan berbagai dalih/alasan.


Harga kantong plastik yang relatif murah akan membuat masyarakat yang pragmatis memilih beli plastik daripada membawa tas dari rumah. Kebijakan ini hanya akan dirasakan oleh orang-orang tidak mampu yang notabene cukup jarang berbelanja di pasar swalayan. Alhasil pengurangan penggunaan plastik tidak akan dirasakan secara signifikan. Terlebih tidak adanya kontrol produksi plastik dari pemerintah.
Negara harus serius di satu sisi memberikan pendidikan kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan dan menerapkan kebijakan yang menjamin lingkungan yang sehat dan bersih. Di sisi lain, pemerintah juga serius membuat kebijakan kepada produsen/pabrik plastik berupa aturan harus memproduksi plastik yang ramah lingkungan dan mudah terurai. Kerja sama dan apresiasi negara pada kalangan akademisi yang sebenarnya sudah lama menelurkan teknologi pembuatan plastik yang ramah lingkungan sangat diperlukan dalam hal ini. Demikian pula untuk teknologi pengolahan limbah plastik yang sudah dikembangkan oleh para peneliti di perguruan tinggi, selayaknya mendapat perhatian serius dan dikembangkan dalam skala yang lebih besar, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat umum.


Jadi tiga aspek yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah masalah kebijakan produksi plastik ramah lingkungan, penanaman gaya hidup masyarakat yang membatasi penggunaan plastik, serta perhatian atas teknologi pengolahan limbah plastik yang sekaligus akan menghasilkan produk yang lebih berguna. Bila ketiga hal tersebut dapat secara sinergi berjalan terus menerus dalam jangka panjang, maka diyakini permasalah limbah plastik akan dapat terpecahkan.


Bila kebijakan ini lebih fokus pada kebijakan plastik berbayar saja, maka kebijakan ini menjadi sarat kepentingan kapitalistik/pebisnis untuk mendulang keuntungan. Jadi kebijakan ini lebih nampak sebagai kebijakan “lipstick” ala kapitalis yang gemar memalak rakyat di semua lini kehidupan, untuk mendulang kapital dari dompet rakyat di negeri yang ratusan juta penduduk ini.


 Sudah selayaknya pemerintah lebih berpihak pada rakyatnya, karena sesungguhnya pemimpin rakyat, dalam hal ini pemerintah, merupakan pihak yang memegang amanah dari Allah untuk mengurusi rakyat yang dipimpinnya. Sebagaimana disampaikan pada hadits : 


Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun