Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di akhir masa jabatannya, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono telah mengesahkan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan aborsi. Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 ini mengizinkan aborsi dalam kasus darurat medis dan korban pemerkosaan. Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pasal 75, 126, dan 127. Bagian yang menjadi sorotan adalah legalisasi aborsi untuk korban perkosaan di pasal 36 tersebut. Bagi kalangan yang paham benar akan konsekuensi dan implikasi Peraturan Pemerintah ini pasti akan mempersoalkan pasal-pasal yang terkandung di dalamnya, karena memberikan celah bagi berkembangnya praktek pengguguran kandungan / aborsi dengan dalih PP tersebut.
Menteri Kesehatan saat itu, Nafsiah Mboi, menegaskan bahwa aborsi masih dilarang di Indonesia. Menurutnya, Peraturan Pemerintah yang baru saja ditetapkan hanya memberikan pengecualian untuk kasus kedaruratan medis dan korban pemerkosaan, dimana tujuan utama peraturan ini semata untuk melindungi kesehatan reproduksi, yang merupakan hak dasar perempuan. “Perkosaan adalah kejahatan seksual. Kalau wanita itu diharuskan untuk hamil dan memelihara anak tersebut hingga dewasa, hak wanita itu dilanggar”. Pendapat ini mendapat dukungan dari sejumlah aktivis perempuan yang memandang setiap wanita mempunyai hak untuk memilih apakah bersedia menjadi ibu dari anak yang dikandungnya atau tidak.
Benarkan pernyataan MenKes tersebut ? Apakah legalisasi aborsi dapat menolong korban perkosaan ? Apakah adanya PP baru ini dapat menyelesaikan akar masalah dari maraknya pelecehan seksual pada wanita ?
Landasan pemikiran yang menjadi acuan untuk melegalkan aborsi adalah fakta bahwa semakin banyak wanita yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). BKKBN mencatat setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Disusul dengan fakta tentang tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), dengan perkiraan 50% diantaranya terjadi dalam peristiwa aborsi, karena tidak dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya. Data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 (SDKI) menunjukkan terdapat 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2012. Tingginya angka kematian ini dinilai sebagai akibat aborsi dilakukan oleh orang yang tidak berkompeten, sebagai konsekuensi adanya peraturan sanksi penjara 4 tahun bagi pelaku aborsi, menurut KUHP pasal 346.
Landasan yang digunakan jelas keliru, yaitu menganggap akar masalah tingginya AKI adalah aborsi yang tidak aman. Sebab aborsi yang tidak aman sejatinya adalah buah dari kehamilan yang tidak diinginkan akibat pergaulan bebas. Perzinahan yang merajalela, pornografi dan pornoaksi yang makin marak, tempat hiburan yang menjamur, membuat naluri seksual mudah terbangkitkan dan butuh pemuasan. Sehingga suburlah seks bebas dan perkosaan.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pemerintah tidak menyelesaikan masalah dari akarnya, yaitu mencegah terjadinya seks bebas, sehingga menekan angka KTD ? Mengapa tidak membuat aturan pergaulan untuk mencegah perkosaan ? Memperberat hukuman pemerkosa ?
Walau dalam PP no. 61 yang diperbolehkan untuk aborsi hanya korban perkosaan, tapi dalam praktiknya tidak tertutup kemungkinan pelaku seks bebas mengaku korban perkosaan untuk menutupi aib dan menghindari jerat hukum aborsi. Kalau sudah begini, maka yang terjadi PP no 61 justru menjadi pemicu maraknya seks bebas.
Sebaliknya, dalam Islam pelaku perkosaan akan mendapat hukuman yang berat, sementara korban mendapat pemulihan fisik dan psikis sehingga siap menjaga kandungan dan merawat anaknya. Keluarga dan masyarakat turut serta menciptakan suasana kondusif agar korban dapat melalui masa sulitnya, tanpa stigma negatif dan pengucilan. Dalam islam, satu-satunya alasan yang dibolehkannya aborsi, menurut para ulama adalah jika kandungan itu membahayakan nyawa sang ibu. Maka korban perkosaan tidak termasuk yang dibolehkan melakukan aborsi secara syar’i.
Islam sebenarnya sudah menyiapkan solusi efektif dan menyeluruh hingga ke akar masalah dalam mencegah terjadinya pergaulan bebas dan berbagai implikasinya, termasuk aborsi dan AKI. Pertama, menerapkan sistem pergaulan islam, yang menjaga kehormatan dengan memelihara pandangan, larangan bercampur pria dan wanita, larangan berkhalwat (pria-wanita berdua-duaan tanpa mahram), pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan, aturan berbusana, dan lain-lain. Kedua, menerapkan sanksi terhadap pelanggaran, seperti hukuman 100 kali cambuk bagi laki-laki dan perempuan bila berzina dan belum menikah. Atau hukuman rajam sampai mati bila perzinahan dilakukan oleh pihak yang sudah menikah. Denda atas aborsi adalah satu ghurrah ( seorang budak laki-laki atau perempuan) yang nilainya setara dengan 10 ekor unta. Hukuman yang sangat berat akan memberikan efek pencegahan sekaligus sangsi yang sangat efektif.
Bila aturan Islam yang sempurna ini dapat diterapkan, niscaya wanita menjadi mulia dan terlindungi, dan akhirnya 'kesehatan' keluarga pasti akan lebih terjamin. Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H