Oleh : Yauma Bunga Yusyananda
Sumatera Barat baru-baru ini mulai mengkaji pembentukan peraturan daerah (Perda) untuk menangani masalah LGBT, yang salah satunya dipicu oleh tingginya angka kasus HIV di Kota Padang. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang, Srikurnia Yati, dari total 308 kasus HIV yang tercatat, lebih dari setengahnya, yaitu 166 kasus (53,8 persen), berasal dari luar kota, sementara 142 kasus (46,2 persen) melibatkan penduduk asli Padang. Kecamatan Koto Tangah tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yakni 40 kasus, diikuti Kecamatan Lubuk Begalung dengan 22 kasus. Sebaliknya, Kecamatan Lubuk Kilangan mencatatkan jumlah kasus paling rendah, yaitu empat kasus.
Fenomena tingginya angka kasus HIV ini tentu menjadi perhatian serius, karena mencerminkan kompleksitas penyebaran penyakit yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal, tetapi juga pola perilaku dan mobilitas penduduk. Salah satu pola perilaku yang kerap disebut-sebut berkontribusi terhadap tingginya angka penularan HIV adalah perilaku lelaki seks lelaki (LSL). Situasi ini mengundang perhatian pemerintah daerah untuk segera mencari solusi, terutama dengan adanya rencana untuk menerapkan Perda guna memberantas fenomena LGBT dan masalah sosial lainnya.
Namun, dalam upaya ini, penting untuk melihat lebih jauh bagaimana fenomena ini berakar dalam sistem sosial yang berlaku. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, dengan niat yang patut diapresiasi, tengah menyiapkan langkah-langkah hukum untuk menanggulangi masalah LGBT. Namun, kita harus jeli melihat bahwa hanya mengandalkan pendekatan hukum yang bersifat sementara atau terfragmentasi tidak akan mampu memberikan solusi tuntas.
Menyikapi masalah ini, tidak hanya kebijakan hukum yang dibutuhkan, tetapi juga perlu ada pendekatan yang lebih mendalam dengan memahami akar masalah yang lebih luas. Salah satunya adalah sistem sosial yang memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk menentukan orientasi seksual, sebuah kebebasan yang terkadang bertentangan dengan norma sosial dan agama yang berlaku di tengah masyarakat. Dalam konteks ini, sistem sekuler yang mengedepankan kebebasan individu sering kali membuka celah bagi munculnya penyimpangan.
Oleh karena itu, untuk mencapai solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, kita perlu melihat pada sistem yang lebih sesuai dengan nilai-nilai agama. Islam, sebagai sistem kehidupan yang lengkap, memberikan panduan jelas terkait pergaulan sosial dan orientasi seksual, yang diatur dalam hukum syariat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dalam sistem Islam, negara berperan penting dalam menegakkan hukum syariat secara menyeluruh, yang tidak hanya mengatur perilaku individu, tetapi juga mengatur sistem sosial yang menjaga umat tetap berada dalam ketaatan kepada Allah.
Implementasi hukum Islam yang kaffah, melibatkan tiga pilar: negara, masyarakat, dan individu, yang berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan sosial. Negara memastikan tidak ada ruang bagi perilaku yang bertentangan dengan norma agama, sementara masyarakat berperan sebagai kontrol sosial untuk menjaga norma-norma tersebut, dan individu akan terdorong untuk menjaga diri dalam ketaatan kepada Allah.
Melihat konteks Sumatera Barat dan Kota Padang, solusi yang tuntas terhadap masalah LGBT dan HIV tidak hanya dapat dicapai melalui regulasi yang bersifat sementara. Dibutuhkan sebuah sistem yang berbasis pada nilai-nilai agama yang dapat mengatasi akar permasalahan dan membentuk masyarakat yang lebih sehat, sejahtera, dan sesuai dengan fitrah penciptaannya. Dengan penerapan sistem yang lebih sempurna dan sesuai dengan tuntunan agama, kita berharap dapat menciptakan perubahan sosial yang lebih mendalam dan bermanfaat bagi umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H