Suatu sore setelah magrib, seseorang di rumah tiba-tiba mengomel sendiri.
“Ya begitu deh, mental orang Indonesia sekarang. Nggak sabaran, maunya cepet selesaitanpa mau berusaha.” Bibirnya mengerucut manyun, dan wajahnya tampak kesal. Untuk menjaga kerahasiaan kita panggil dia si A. Maunya saya kasih nama “bunga”, tapi takut jadi keterusan “Bunga, bukan nama sebenarnya” hihihi...
“Ada apa kok ngomong kayak gitu?” tanya seseorang yang lain. Orang ini sedang berada di depan laptopnya. Sepertinya banyak pekerjaan. Nah, yang ini kita panggil si B. B ini bisa kepanjangan dari beno, bendi, beben, atau bobo, mirip majalah anak-anak.
“Itu orang jakarta, isinya mengeluh aja. Minta banjir diatasi, minta macet diatasi tapi nggak sabar sama proses. Padahal pemerintah sudah banyak program yang dijalankan. Secara nyata lagi, tapi tetep aja nggak puas. Maunya begitu gubernur naik, banjir langsung selesai, macet langsung beres. Jokowi kan sudah bagus tuh, melakukan perubahan dimana-mana. Masih juga dicela, kurang ini lah, kurangitu lah,” kata si A melanjutkan omelan.
“Dapat dari berita, ya? Jangan ngomong gitu, kita kan nggak mengalami langsung seperti mereka,” si B coba menengahi.
“Ya, memang kita nggak ngalami banjir, nggak perlu ngungsi, macet aja kadang-kadang. Tapi bukan berarti jadi melegalkan buat memaklumi karkater bangsa yang udah merosot ini. Padahal kalau dipikir-pikir banjir itu yang buat manusia Jakarta sendiri. Buang sampah sembarangan, saking banyaknya sungai ciliwung penuh sampah, sampai waktu musim hujan datang tanggul nggak bisa nahan akibat banyak sampah. Berapa sih dari kita yang punya kesadaran tinggi buat buang sampah di tempatnya? Kebanyakan kalau nggak ketemu main lempar aja ke jalanan. Bahkan aku pernah tahu lho seorang ibu buang sampah di stasiun padahal tempat sampah cuma beberapa meter. Tapi kayaknya males banget buat berdiri jadi di geletakin gitu aja. Waktu temenku memungut sampah itu buat dibuang ke tempat sampah, si ibu pura-pura cuek malah memalingkan muka. Itu kan bikin gemes!”
Si B hanya tersenyum mendengarkan omelan si A yang panjangnya melebihi rangkaian gerbong kereta. Kalau urusan sampah si A emang care banget. Pernah dia berangkat dari rumah bawa seplastik besar sampah yang sudah dipisah-pisah antara yang bisa didaur ulang atau nggak, lalu di anter ke TPA. Begitu nyampe sana seorang pemulung langsung menyambut sampah itu dengan muka berbinar, dan mengucapkan terima kasih. Mirip orang baru dapat warisan emas, padahal ini cuma sampah plastik dan kardus doang.
“Ada rencana buat mengadakan MRT alias monorel. Tapi warga nggak setuju alasannya bisa merusak tatanan kota. Kalau dibangun di bawah tanah semua sih, oke. Jokowi emang berniat buat jalur MRT bawah tanah tapi cuma separuh lalu transit dan pakai jalur darat. Kalau dibangun bawah tanah semuadananya 3 kali lipat, lha anggaran sebanyak itu masa buat MRT semua? Terus si warga nggak mau tahu aja, pokoknya MRT jalur darat bisa merusak tatanan kota. Nah, giliran ditanya maunya gimana pada bingung juga. Suruh nambahin dana biar bisa dibangun bawah tanah semua, ogah. Pakai jalur darat, emoh, ribet. Kalau macet terus katanya Jokowi hanya janji kampanye palsu buat nyelesain masalah macet.”
“Jadi, ceritanya sekarang jadi pendukung Jokowi, nih?” celetuk si B. Setahu saya si A punya idola sendiri, bukan Pak Jokowi.
“Ya,nggak. Cuma aku itu gemeeesss banget lihat mental bangsa kita ini. maunya serba instan nggak mau melalui proses. Itu lagi rencana pembangunan jalan tol dari Tanjung Merak buat para truk kontainer masih aja dikeluhkan. Padahal jalan tol itu kan supaya truk besar nggak masuk jalan arteri, terus bisa mengurangi kemacetan, yang katanya sudah teramat parah. Tapi para pengguna jalan bilang kalau gara-gara pembangunan jalan tol jadinya tambah macet dan panas. Yah, namanya juga lagi dibangun jalan layang ya pasti macet. Tapi kan, macet ini punya tujuan agar ke depannya nggak macet lagi. Mana ada orang bangun jalan layang tiba-tiba langsung jadi? Kayak legenda Bandung Bondowoso dong, yang bikin seribu candi dalam semalam.”
Si B manggut-manggut entah mengerti atau capek. Capek mendengarkan orang lagi senewen dan memikirkan kerjaannya yang nggak beres-beres. Kenapa jadi ruwet gini, sih, kerjaan ane?
“Terus ya, kenapa sih kita nggak memberi apresiasi, atau dorongan semangat supaya pemerintah jadi lebih baik lagi. Bukan hanya mengeluh dan mengkritik. Kalau nyari kesempurnaan, semua manusia ya nggak ada yang sempurna. Tapi paling tidak sudah tampil pemimpin yang mau menyentuh akar permasalahan. Bukan duduk-duduk di kursi trus tanda tangan, doang? Kenapa kita ini nggakbisa sabar dan menerima proses? Kenapa kita selalu mencari sisi negatif dan mengabaikan sisi positif? Program yang bagus, bagaimanapun bagusnya bila ada kelemahan langsung deh dikritik habis-habisan, hingga seolah-olah nggak ada bagusnya sama sekali. Kita juga harus ikut membangun jakarta dong. Iya nggak sih?” Si A menutupkan tangan pada mukanya, dan menarik pipinya hingga mirip monster keriput.
Sepertinya hari itu si A lagi senewen tingkat dewa. Sebenarnya berita apa sih yang ditontonnya? Yang lebay dan nggak sabaran itu warga Jakarta, stasiun televisi, pembuat berita, atau si A sendiri?
“Aku ingin kita berubah!” teriak si A sambil mengepalkan tangan.
“Nggak bisa. Aku bukan satria baja hitam,” ujar si B kalem
Si A melemparkan pandangan sebel.
“Berubah jadi orang yang lebih menghargai usaha orang lain!”
Oooww begitu to?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H