[caption id="attachment_118535" align="aligncenter" width="300" caption="biaya sekolah mahal tdk jaminan mencetak manusia pandai,,,hakikat sekolah adalah untuk menggapai ilmu.."][/caption]
Adik kecil itu bernama Lia, tahun ini ia lulus SMP. Usianya sebaya dengan adikku yang paling kecil. Sore sepulang kerja, bapakku bercerita denganku & ibuku tentang ayah Lia. Bapak bilang sewaktu beliau main ke rumah pak Jonny tadi siang, terlihat Lia sedang menangis. "Sedih sekali kelihatannya", ujar Bapak.
Ayah Lia yang terbaring di tempat tidur terlihat berkaca – kaca menceritakan putrinya, “si Lia ini anaknya susah dinasehatin pak, disuruh belajar malah ngebantah, maunya main terus, sekarang saya sudah begini dia baru ngerti. Dia bilang mau terus sekolah, dia takut saya meninggal katanya”. Senyum pak Jonny terlihat getir. Perutnya yang semakin membesar & badannya yang semakin kurus dan menguning membuat beliau tak berdaya untuk mencari nafkah. Setahun sudah ia terbaring di tempat tidur, awalnya beliau masih memiliki semangat untuk sembuh. Enam bulan terkapar di rumah sakit membuat harapannya semakin menipis. Biaya sudah habis – habisan tapi penyakitnya tak kunjung sembuh.
Pernah beberapa kali ayahku menawarkan beliau untuk diajak berobat kembali, jika beliau bersedia, aku & kakakku akan membantu mengurus permohonan bantuan ke sebuah LSM yang memberikan dana untuk kaum dhuafa. Tapi sepertinya harapannya sudah benar – benar sirna, beliau menolak dengan alasan ingin meninggal dengan tenang. Beliau tak ingin merepotkan anak & istrinya serta orang lain.
Pagi ini ku dengar kabar bahwa pak Jonny telah berpulang ke rahmatullah. Jenazahnya dimakamkan di kampung halamannya di Garut. Istri & tiga anaknya ikut pulang ke kampung. Seminggu kemudian mereka memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ibuku sempat berkunjung ke kontrakan mereka. “Alhamdulillah, Johan, anak pertama almarhum hari ini mulai bekerja, ia diterima kerja di pabrik dekat jalan raya sana, kak”, cerita ibuku.
“Terus Lia bagaimana ma?” tanyaku,
“Lia sudah mendaftar di SMK, tapi belum tahu berapa biayanya. Waktu ibu kesana, Lia masih kelihatan sedih. Ibunya bilang Lia takut ga bisa sekolah lagi, padahal bu Enni sudah bilang kalau dia & abangnya Lia bakal terus berusaha supaya dia bisa sekolah”.
Terbayang dibenakku kekhawatiran Lia, betapa tidak,,,, ini Jakarta, semua serba mahal. Bahkan untuk masuk sekolah negeri setingkat SMA sekalipun, seorang wali harus menyiapkan dana yang hampir sama dengan biaya kuliah. Mungkin lebih mahal berkali – kali lipat dari biaya masuk UI tahun 2001. Dan yang mengherankan, beberapa sekolah menggunakan istilah biaya pembangunan untuk biaya masuk tersebut. Hmmm,,,apa mungkin biaya pembangunan yang sebegitu besar tidak bisa menyelesaikan proyek pembangunan, sampai harus dianggarkan setiap tahunnya??? Kemudian, sebesar & sebagus apa bangunan yang akan dibuat?? Apa dengan bangunan yang ada tidak bisa membuat siswa menjadi pandai???...Tidakkah mereka pernah berpikir bahwa banyak orang – orang hebat di jamannya justru menjadi hebat dengan keterbatasan yang ada??. Jika tahu seperti itu faktanya kenapa harus memanjakan diri yang justru mencekik para wali??,,,
Duhai kau yang bergelar pahlawan “tanpa tanda jasa”, dimana hati nuranimu??.
Tegakah kalian melihat air mata Lia & anak – anak negeri ini????....
Sampai hatikah kalian merenggut senyum mereka???...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H