Mohon tunggu...
Ummu Fatimah
Ummu Fatimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Do the best

Speak your idea for the better future

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Zonasi, Cerita Kapitalisasi Pendidikan

7 Juli 2024   20:05 Diperbarui: 7 Juli 2024   20:28 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dunia pendidikan kembali tergoncang, kali ini bukan di kalangan perguruan tinggi akibat biaya kuliah yang mahal. Akan tetapi bersumber dari amarah massa khususnya orang tua siswa siswi sekolah menengah yang geram dengan sistem zonasi dalam dunia pendidikan. Zonasi sebagai alternatif sistem pendidikan, telah dijalankan selama kurang lebih 5 hingga 6 tahun belakang memang menyisakan polemic hingga saat ini. Sistem Zonasi sendiri adalah sebuah aturan dalam penerimaan peserta didik baru atau PPDB dalam berbagai jenjang baik pada sekolah dasar ataupun sekolah menengah. Pada sistem ini penerimaan peserta didik baru dilakukan berdasarkan jarak rumah ke sekolah. Semakin dekat maka potensi untuk diterima semakin tinggi. Sistem ini dirancang sebagai sebuah terobosan untuk melakukan penyetaraan kualitas pendidikan, sehingga diharapkan tidak ada lagi sekolah dengan label "berprestasi" dan sekolah "pinggiran".

            Sayangnya, fakta lapangan menunjukkan bahwa sistem zonasi justru menyebabkan masalah baru, seperti pemalsuan anggota keluarga, manipulasi jalur donasi, sertifikat palsu untuk jalur prestasi bahkan hingga jasa titip menitip atau KKN yang marak dilakukan demi mendapatkan kursi di "mantan sekolah berprestasi" (tempo.co). Sehingga tidak heran jika banyak masyarakat yang kecewa dengan sistem zonasi yang justru membuat bingung dan tidak memberikan kepastian bagi orang tua atas ketentuan sekolah hingga kualitas pendidikan yang didapatkan oleh buah hati mereka. Dewasa ini perlu dipertanyakan apakah benar zonasi mampu mewujudkan pemerataan pendidikan seperti yang diharapkan atau justu menjadi jalan untuk semakin meng kapitalisasi pendidikan.

Kualitas Pendidikan

            Kualitas pendidikan pada dasarnya dipengaruhi oleh 2 hal yaitu  faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi tujuan pendidikan yang dipahami oleh siswa, orang tua, instansi pendidikan, dan negara, serta kesadaran siswa dan orang tua atas pendidikan itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal adalah kualiatas guru, saran prasarana instansi pendidikan, metode pembelajaran, dan kurikulum pembelajaran. Berdasarkan faktor tersebut, di Indonesia sendiri faktanya masih banyak terjadi ketimpangan jumlah dan kualiatas guru, ketimpangan pengadaan sarana dan prasarana sekolah baik dilihat dari jumlah buku bacaan di perpustakaan, kualiatas laboratorium, dan yang paling sering dilihat adalah keamanan gedung sekolah itu sendiri.

            Ketimpanga kualitas sarana dan prasarana pendidikan memang tidak bisa dijauhkan dari pembiayaan sekolah. Sekolah dengan biaya mandiri atau swasta dan sekolah di kota memiliki sarana prasarana yang lebih memadai dibandingkan sekolah negeri yang ada di desa. Akibatnya kualitas pengajaran pada peserta didik juga berbeda akibat adanya ketimpangan sarana dan prasarana yang ada di sekolah. Selain itu mindset sekulerisme, liberal dan kapitalistik yang dibangun pada sistem pendidikan saat ini mempengaruhi kinerja guru dan antusiasme siswa dalam menuntut ilmu.

            Ilmu dipandang sebagai sarana penghasil cuan, sehingga aktivitas belajar mengajar diarahkan hanya untuk menghasilkan pekerjaan dengan nilai jual tinggi atau pendidikan hanya diperlukan untuk orang orang yang membutuhkan uang. Akibatnya, siswa tidak merasa penting untuk menyimak dan memperharikan ilmu yang disampaikan jika dianggap tidak memberikan keuntungan bagi  kehidupan mereka dengan instan. Bahkan, karena merasa sudah mampu dengan materi yang disampaikan oleh gurunya, siswa cenderung tidak memiliki rasa hormat pada guru. Begitu juga dengan guru yang dianggap sebagai pekerjaan yang rendahan dilihat dari kesejahteraan yang diberikan oleh negara serta mindset bahwa ini hanyalah sebuah pekerjaan saja tanpa memperhatikan bagaimana tumbuh kembang siswanya. Hal ini dikarenakan semakin sulitnya kebutuhan hidup yang dialami oleh para guru serta tidak adanya support sistem dari pemerintah untuk menjamin kesejahteraan mereka. Sehingga banyak dari para guru yang tidak bisa focus dalam mendidik siswanya.

Akar Ketimpangan Pendidikan

            Ketimpangan dunia pendidikan hakikatnya adalah peringatan keras bahwa pemenuhan kebutuhan dasar mayarakat tidak mampu dipenuhi oleh negara secara keseluruhan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari terbatasnya anggaran pendidikan yang dianggarkan berdasarkan presentase bukan berdasarkan kebutuhan di dunia pendidikan. Akibatnya instansi pendidik harus berbelanja dengan mindset "cukup nggak cukup harus cukup". Padahal, diketahui bersama bahwa pembiayaan pendidikan bukanlah hal yang murah terlebih di tengah kecanggihan teknologi.

Pembatasan anggaran pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, minimnya sumber input APBN. Meskipun negara kita kaya akan SDA kenyataannya dominasi pengelolaan SDA diberikan kepada asing sehingga keuntungan yang benar benar diberikan kepada negara hanya bagian kecil saja. Kedua, tidak adanya mindset periayahan dalam politik hari ini. Politik hanya dijadikan alat untuk mendapatkan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan atau kelompok. Ketiga, kapitalisasi pendidikan. Pendidikan sebagai kebutuhan yang tidak pernah mati justru dikomersilkan oleh pihak industri yang bekerja sama dengan pemerintah. Komersialisasi ini nampak pada maraknya sekolah swasta dengan kualiatas yang memadai didukung oleh sikap penguaasa yang berlepas tangan dalam pembiayaan pendidikan. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan satu. Sehingga ketika mindset yang dimiliki dalam pengelolaan pendidikan masih diwarnai dengan materiatik kapitalisme, ketimpangan dalam dunia pendidikan tidak akan terselesaikan bahkan ketika dilakukan sistem zonasi sekalipun.

Pendidikan Merata

            Negara memiliki kewajiban memberikan pendidikan kepada rakyat sebagai bentuk pertanggung jawaban negara atas rakyatnya. Mindset ini lahir dari mindset politik adalah sarana untuk melakukan periayahan terhadap rakyat. Sehingga negara akan memberikan pendidikan terbaik dengan mengalokasikan anggaran sesuai dengan kebutuhan. Anggaran ini salah satunya dipenuhi dengan melakukan pengelolaan terhadap SDA sehingga mampu memenuhi kebutuhan rakyat atas pendidikan. Selain itu masyarakat juga memiliki mindset yang sama terkait pentingnya pendidikan bagi kehidupan mereka sehingga ketika negara membuka pintu wakaf, banyak pihak yang akan memberikan dana wakaf kepada negara untuk dialokasikan pada dunia pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun