Aku adalah seorang ibu dengan seorang anak yang didiagnosis menderita sakit Sindrom Nefritis Lupus. Ketika pertama kali mendengar diagnosis ini, duniaku seakan runtuh, kakiku serasa tak mampu berpijak. Sebagai ibu, aku selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anakku, namun kondisi ini membuatku harus menghadapi tantangan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, di balik semua itu, aku menemukan kekuatan yang tak pernah kuketahui ada dalam diriku.
Dalam hidup, tidak ada yang pernah siap menghadapi kenyataan bahwa anaknya sakit. Begitu pula denganku. Sebagai seorang ibu, perjalanan ini dimulai dengan kekhawatiran kecil yang perlahan berubah menjadi badai besar yang mengguncang hidup kami. Hidupku berubah selamanya pada suatu pagi yang sunyi. Najwa, anak perempuan akuyang baru berusia 11 tahun, terbangun dengan wajah pucat dan tubuh yang lemah. Awalnya akuberpikir itu hanya kelelahan atau mungkin flu biasa. Namun, saat gejalanya semakin parah, firasatku sebagai ibu tidak bisa lagi diabaikan.
Dokter pertama yang kami temui hanya memberikan vitamin. Namun, ketika ananda mulai mengalami bengkak di bagian tubuhnya dan kesulitan bernapas, kami segera bergegas ke rumah sakit. Setelah serangkaian pemeriksaan yang panjang, diagnosis itu akhirnya datang: Sindrom Nefritis Lupus.Aku merasa seperti dihantam badai. Bagaimana mungkin tubuh mungilnya yang begitu ceria harus menanggung penyakit seberat ini? Namun, aku tahu, sebagai ibu, aku tidak punya waktu untuk larut dalam kesedihan. Aku harus berdiri tegak untuknya.
Hari-hari berikutnya adalah perjuangan yang penuh dengan air mata dan doa. Aku harus belajar banyak hal baru, dari cara membaca hasil tes darah hingga memahami istilah medis yang rumit. Rumah Sakit menjadi rumah kedua kami. Selain kemoterapi, Ananda juga harus menjalani cuci darah secara rutin untuk menjaga fungsi ginjalnya. Prosedur itu melelahkan dan menyakitkan, tetapi ia tetap bertahan. Pada akhirnya, dokter merekomendasikan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) sebagai alternatif yang lebih nyaman. Aku harus belajar cara melakukannya di rumah, meskipun awalnya aku merasa takut dan tidak yakin. Namun, demi Ananda, aku rela belajar apa saja.
Hari-hari dimana Ananda harus menjalani pengobatan terasa seperti mimpi buruk. Kemoterapi, cuci darah, dan kemudian CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kami. Melihat tubuh kecilnya berjuang melawan efek samping yang melelahkan, hatiku berkali-kali hancur. Rambutnya mulai rontok, kulitnya berubah pucat, dan keceriaan yang dulu selalu memancar dari matanya perlahan meredup.
Namun, di tengah segala kesulitan itu, ananda menunjukkan keberanian yang luar biasa. “Ummi, mbak nggak apa-apa kok. Kita pasti bisa,” katanya suatu hari dengan senyuman lemah. Kata-kata itu seperti pelita di kegelapan, mengingatkan aku untuk terus berjuang.
Dukungan dari keluarga dan teman-teman sangat berarti, tetapi ada saat-saat di mana aku merasa sangat sendirian. Di malam yang sunyi, ketika ananda tertidur setelah menjalani hari yang melelahkan, aku sering menangis dalam diam, memohon kepada Allah untuk memberikan kesembuhan kepadanya.
Di tengah perjalanan ini, aku belajar untuk berserah. Ada hari-hari di mana kondisi Ananda memburuk, dan aku merasa seperti kehilangan harapan. Namun, setiap kali aku memandang wajahnya, aku tahu bahwa aku tidak boleh menyerah. Aku terus berdoa, mempercayakan segalanya kepada-Nya, dan melakukan yang terbaik yang aku bisa.Dukungan dari keluarga dan teman-teman sangat berarti, tetapi malam-malam sunyi menjadi saksi air mata aku yang tak pernah berhenti mengalir.
Di setiap langkah perjalanan ini, doa menjadi pegangan utamaku. Aku bersimpuh kepada Allah di sepertiga malam, memohon kekuatan dan kesembuhan untuk Ananda. Ketika tubuhku lelah dan pikiranku dipenuhi kekhawatiran, aku mengingatkan diri sendiri bahwa Allah tidak pernah memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya.
Setelah enam tahun penuh perjuangan, akhirnya ada secercah harapan. Dokter memberi tahu kami bahwa kondisi ananda mulai stabil. Meski penyakit ini belum sepenuhnya pergi, kami belajar untuk merayakan setiap kemajuan kecil. Proses CAPD yang dulu menakutkan kini menjadi rutinitas yang kami jalani bersama dengan cinta dan kesabaran.
Kini, Ananda mulai kembali tersenyum. Ia bisa bermain dengan teman-temannya, meskipun masih harus menjaga kondisinya dengan hati-hati dan tak boleh lelah. Melihatnya bercanda dan bermimpi tentang masa depan adalah kebahagiaan terbesarku. Terlebih saat ini ananda sudah mulai belajar di Perguruan Tinggi, dengan aktivitas kuliahnya yang padat. Tapi semangat tetap mengalir dalam dirinya di tengah keterbatasan karena sakitnya.
Melalui perjalanan ini, aku belajar bahwa cinta seorang ibu adalah kekuatan yang tak terbatas. Setiap usaha, setiap tetes air mata, dan setiap doa memiliki arti. Bagi para ibu yang sedang menghadapi perjuangan serupa, aku ingin mengatakan: jangan pernah menyerah. Ada kekuatan luar biasa di balik cinta dan doa. Dan percayalah, ketika kita berserah kepada-Nya, keajaiban selalu mungkin terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H