Mohon tunggu...
Ummi Berbagi
Ummi Berbagi Mohon Tunggu... -

menuliskan dunia dari kacamata seorang istri dan ibu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Pak Sarjoko Kita Belajar

13 Januari 2012   12:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:56 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13264567911834673421

Jika kemarin-kemarin nama Dahlan Iskan dan Jokowi santer di bicarakan karena gebrakan dahsyatnya lewat aksinya yang banyak diliput media, kini ada satu nama lagi yang dari pribadinya kita bisa belajar. Pak Sarjoko namanya. Tidak terkenal  memang, karena beliau bukan pejabat. Pak Sarjoko hanyalah bapak dengan bekerja sebagai tukang potong ayam. Tinggal di Kampung di Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta.  Lebih tepatnya  di daerah Silir, derah yang di kenal sebagai 'tanahnya' prostitusi.  Tapi itu dulu, kini, sebutan itu tak berlaku lagi.

Perubahan ini tak lain merupakan inisiatif pribadi dari Pak Sarjoko. Pak Sarjoko kecil acapkali  di ledek  oleh teman-temannya sebagai, 'anak silir'.  Julukan yang berkonotasi negatif. Bahkan  ledekan itu kini masih turun-temurun hingga ke anak-anak beliau. Gerah dengan  ledekan tersebut, beliau  akhirnya  turun tangan. Sebagai putra asli kampung Silir, beliau getol selama puluhan tahun  untuk mengadakan perubahan yang lebih baik di kampung halamannya tercinta. Hanya berbekal semangat dan niat yang membaja, Sarjoko pun memulai misinya. Bukan dengan ceramah atau kata-kata yang bernada menggurui, melainkan lewat tindakan nyata. DEngan kesabaran pula  ia  sambangi para pekerja seks  komersial  di Kampung Silir  untuk mengajak mereka  bergabung  dengan kelompok belajar yang ia ciptakan bersama sang Istri, Natalis Pujiani.

Tentu saja  bukan hal mudah. Karena  banyak 'pihak' yang merasa  di untungkan dengan  keberadaan lokalisasi  kampung Silir ini, ajakan Pak Sarjoko pun di anggap angin lalu. Tidak terhitung  berapa banyak 'kerikil' yang mejadi hambatan perjuangannya. Ketika tengah malam banyak yang menggendor rumahnya bahkan melakukan tindakan tidak terpuji kepada beliau dan keluarga, sudah menjadi pemandangan biasa.

Tapi bukan Pak Sarjoko namanya jika menyerah begitu saja. Niat yang baik, Tindakan yang benar, Doa, serta dukungan keluarga sudah cukup memantapkan hatinya. Di masa-masa awal dia menjalankan misinya, bukan sekali dua dia didatangi preman yang mengancam agar menghentikan misinya. Tidak terhitung lagi berapa kali pintu rumahnya digedor orang di tengah malam. Tidak hanya preman, kecaman terhadap misi Sarjoko juga datang dari warga setempat. Bahkan, dia pun harus rela melepas jabatan sebagai sekretaris rukun warga (RW) karena didemo warga yang tidak setuju dengan upayanya itu.

Dengan membuka usaha kelompok belajar, Pak Sarjoko mengajak pelan-pelan para PSK untuk  bergabung dengan kelompok belajar yang dibentuknya. Sembari menyelipkan nasihat kepada mereka untuk meninggalkan  pekerjaan mereka tersebut.  Bukan cuma waktu, tenaga, dan pikiran yang dicurahkan Sarjoko, melainkan juga harta.  Beliau benar-benar totalitas  dalam hal ini. Upaya Sarjoko mengentaskan PSK dari lembah hitam bukan setengah hati. Selain mengajarkan keterampilan, dia juga berlaku sebagai 'bapak'. Apa yang bisa dilakukan untuk membantu mengatasi kesulitan asuhannya, ia lakukan. Mulai dari menguruskan akta kelahiran untuk anak-anak mereka hingga menikahkan, sekalipun lebih sering melalui program nikah massal.

Ya kini Pak Sarjoko bisa tersenyum lega. Upayanya  menuai hasil. Kampung Silir kini telah berbenah. Silir telah menjelma menjadi sebuah kawasan permukiman baru warga Solo yang di gemari. Namun, beliau menolak sebagai  seorang yang berjasa dalam perubahan 'wajah' kampung Silir ini. seluruh jerih payah dan pengorbanan yang beliau keluarkan itu tanpa mengharapkan penghargaan apapun. tidak mengaharapkan pujian siapapun.

"Saya hanya ingin menjadi pribadi yang bermanfaat di sisa umur saya sekarang ," ujar beliau berkaca-kaca.

Sahabat kompasioner, dari Pak Sarjoko kita belajar, bahwa di dunia ini tidak satu dua orang saja yang  'berbuat'  untuk perubahan. Mereka  banyak. tanpa  sorotan. tanpa bicara. tanpa janji. tanpa mengharapkan pamrih apapun.  Terima Kasih Pak Sarjoko. Semoga akan banyak lahir "Sarjoko-Sarjoko" lainnya.

sumber gambar dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun