Mohon tunggu...
Ummi Kholifatun Nisa
Ummi Kholifatun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang masih mengulik-ulik jati diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dwi Jono: Tidak Ada Wirausaha Tanpa Usaha

7 Oktober 2024   01:34 Diperbarui: 7 Oktober 2024   04:04 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peracikan bumbu di kios selep daging Pak Jono (Toger) di pasar Godong, kabupaten Grobogan/dokpri

Dwi Jono atau biasa dipanggil Pak Jono, merupakan seseorang dengan tinggi kurang lebih 160 cm dan perawakan tubuh yang tergolong sedang. Pak Jono merupakan seorang yang dulunya tergolong nakal dengan track record berhenti sekolah saat kelas 2 STM (yang saat ini sama dengan SMK). Tumbuh dalam keluarga yang keras membuat Pak Jono memiliki watak yang tegas.

 Banyak orang yang mengatakan beliau memiliki ekspresi yang galak dan omongan yang pedas, namun saat sudah mengenal baik Pak Jono memiliki kepribadian yang lucu dan suka bergurau. Walau dahulu dicap sebagai anak yang nakal, namun beliau merupakan juara kelas dan pernah mendapat beasiswa untuk sekolahnya. Saat waktu liburan sekolah pun beliau tidak takut untuk pergi ke luar kota untuk bekerja sehingga dapat membeli setidaknya pakaian baru.

Namun, berada di sekolah tidak membuat Pak Jono puas dan pada 1997 atau saat kelas 2 STM beliau memutuskan untuk berhenti sekolah dan menggantikan bisnis yang dijalankan oleh orangtuanya. Keputusan ini diambil karena beliau merasa metode perdagangan yang digunakan oleh orangtuanya terlalu kuno, sehingga bukannya untung tapi malah buntung. Usaha yang dijalankan oleh orangtuanya adalah penggilingan daging yang pelanggan utamanya adalah penjual bakso. 

Metode yang digunakan oleh orangtua beliau adalah pembeli mengambil dan menghitung sendiri bumbu yang digunakan untuk adonan, sehingga metode ini digunakan oleh pembeli-pembeli yang nakal untuk melakukan kecurangan.

 Selain itu orangtua Pak Jono belum terlalu peduli terkait perawatan mesin, sehingga saat mesin rusak sangat lama untuk diperbaiki dan mengganggu saat sedang ada pelanggan. Melihat hal ini Pak Jono memutuskan bahwa pengambilan bumbu dan penghitungan dilakukan oleh dirinya. Pak Jono mengatakan "Yo gelem ra gelem ngalahi (Ya mau tidak mau harus mengalah)" serta rutin untuk melakukan pengecekan mesin.

Selama beberapa tahun bisnis berjalan lancar, namun pada 2001 Pak Jono memutuskan untuk pergi bekerja ke Korea. Pak Jono bekerja di Korea selama kurang lebih 10 tahun dan selama waktu tersebut bisnis dijalankan oleh saudaranya dengan Pak Jono tetap mengawasi dan mengontrol bisnis dari Korea. Pada 2011 ketika pulang ke Indonesia Pak Jono menikahi istrinya dan bersama istrinya mengelola bisnis penggilingan ini. 

Dalam menjalankan bisnis bersama istrinya Pak Jono dibantu oleh 4 pegawainya. 1 pegawai bertugas membantu istri Pak Jono dalam menyiapkan bumbu, 1 pegawai bekerja di bagian penimbangan tepung, dan 2 pegawai sebagai operator di penggilingan. 

Bisnis penggilingan ini buka mulai pukul 05.30-09.30 pagi karena kebanyakan pelanggan merupakan penjual yang biasanya harus sudah memasarkan dagangannya di siang hari.

Di pasar tempat berbisnis sebenarnya terdapat 3 pedagang lain yang memiliki usaha penggilingan ini, usaha milik keluarga Pak Jono merupakan terlama kedua. Walau begitu Pak Jono tidak takut tersaingi karena yakin bahwa usaha miliknya memiliki kelebihan yang bisa menarik pelanggan. 

Pak Jono sangat mengunggulkan pelayanan di tokonya dan menekankan pada pegawainya utamanya untuk selalu bersikap ramah. Ada juga 'resep rahasia' yang digunakan sebagai bahan bumbu sehingga dalam hal rasa penggilingan dagingnya PD untuk diadu dengan penggilingan daging yang lain.

 Sedangkan dalam aspek harga Pak Jono juga berani bersaing karena hanya mematok harga Rp. 4000/kg daging dan untung tepung tidak diikutkan dalam biaya jasa penggilingan. "Kalau saya harga Rp. 4000 untuk tiap kilo daging dan tepungnya tidak dihitung. Kalau tempat lain denger-denger Rp. 4000 tapi tepungnya juga dihitung" tuturnya. Pak Jono berani mematok harga tersebut karena Pak Jono memproduksi sendiri es batu yang digunakan. "Berani segitu karena es batu kita produksi sendiri, dulu gak produksi sendiri sehari bisa habis seratus sampai dua ratus ribu hanya untuk es batu", imbuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun