Jelang Pilkada, suhu politik biasanya meningkat. Tidak hanya di panggung kampanye, tetapi juga di dunia maya. Media sosial dan platform berbagi pesan sering kali menjadi arena pertempuran opini, di mana informasi benar dan salah saling bertabrakan. Salah satu ancaman terbesar adalah penyebaran hoax yang dengan cepat dapat memecah belah masyarakat.
Pagi tadi, saya menerima kiriman berisi sebuah video yang cukup memancing emosi. Video itu memperlihatkan seorang calon gubernur sedang mabuk berat, lengkap dengan caption memojokkan dan menyerukan agar masyarakat tidak memilihnya.Â
Sepintas, video tersebut tampak meyakinkan. Namun, naluri saya mendorong untuk memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Setelah teliti, ternyata video tersebut adalah rekaman lama yang diambil jauh sebelum si calon gubernur mencalonkan diri. Informasi itu sepenuhnya hoax.
Jujur saja, saya bukan pendukung calon gubernur tersebut, saya juga sempat "perang batin" saat akan menyampaikan bahwa video yang dia bagikan adalah hoax. Saya takut gegara info yang saya sampaikan, hubungan pertemanan putus karena dia merasa bahwa kami beda pilihan. Padahal, konteks saya memberikan informasi tersebut, karena secara pribadi saya memiliki tanggung jawab.Â
Selaku dosen yang mengajar mata kuliah Literasi Digital, di mana salah satu bahasannya adalah materi tentang Hoax, saya bertugas mengedukasi pihak yang belum paham risiko penyebaran berita hoax.
Ketika saya mencoba menjelaskan kepada pengirim video bahwa informasi tersebut tidak benar, reaksinya cukup menarik. Alih-alih menerima penjelasan dengan terbuka, ia tetap bertahan dengan argumennya bahwa "kelakuan calon itu memang tidak layak." Sayangnya, ini adalah contoh klasik bagaimana emosi dan kebencian politik dapat membuat seseorang mengabaikan fakta.Â
Setelah saya jelaskan bahwa tugas saya mengedukasi tentang hoax dan resiko menyebarkannya, yang bersangkutan mulai menerima penjelasan. Ia mulai paham bahwa video yang didapatnya adalah hoax. Saya berpesan padanya agar berhati-hati saat mendapat berita, biasakan berpikir jernih dan periksa kebenarannya.
Sebagai masyarakat yang hidup di era digital, kita tidak bisa mengabaikan dampak besar yang dapat ditimbulkan oleh hoax. Forward pesan tanpa berpikir panjang tidak hanya berisiko memecah belah masyarakat, tetapi juga melanggar hukum.Â
Sebagai informasi, penyebaran hoax dapat dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Bahkan tanpa maksud jahat, seseorang yang menyebarkan informasi palsu tetap dapat dipidana.
Mengapa Hoax Begitu Mudah Menyebar?
Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia. Â Berdasarkan berita yang dilansir di situs cnbcindonesia.com, data menunjukkan bahwa pengguna TikTok di Indonesia menempati urutan terbanyak di dunia.Â
Ini berarti potensi penyebaran informasi---baik benar maupun salah---sangat besar. Sayangnya, tingkat literasi digital masyarakat kita masih tergolong rendah. Banyak yang belum memahami pentingnya memverifikasi informasi sebelum membagikannya.
Ketika masyarakat memiliki kecenderungan emosional terhadap tokoh tertentu---baik rasa suka maupun benci---hoax menjadi alat yang sangat ampuh untuk memprovokasi. Dalam kasus video calon gubernur tadi, pengirimnya membagikan video tanpa memikirkan dampaknya, hanya karena merasa calon tersebut tidak layak. Padahal, kebenaran dari informasi yang disebarkan jauh lebih penting daripada sekadar memuaskan emosi sesaat.
Jangan Takut Meluruskan Hoax
Salah satu alasan mengapa hoax terus subur adalah karena banyak orang takut untuk menyampaikan fakta. Mereka khawatir dianggap mendukung pihak yang mungkin sedang dipojokkan. Padahal, meluruskan informasi bukan soal keberpihakan, tetapi soal integritas dan tanggung jawab sebagai warga negara.
Masyarakat Indonesia perlu memahami bahwa menyebarkan hoax dapat merugikan banyak pihak. Selain memecah belah, hoax juga bisa menghancurkan reputasi seseorang secara tidak adil. Apalagi, menjelang Pilkada, banyak pihak yang memanfaatkan hoax untuk menyerang lawan politik.
Saya pernah menemui kasus lain yang tidak kalah mengkhawatirkan. Banyak pengguna Facebook yang tidak sadar telah menjadi korban situs judi online. Modus yang dilakukan situs tersebut adalah dengan menggunakan maskot tokoh agama tertentu yang dipotong dari konteks aslinya, seolah-olah situs tersebut adalah platform investasi halal. Padahal, situs itu jelas-jelas menawarkan perjudian.
Modus seperti ini menunjukkan bahwa hoax tidak hanya berbahaya dalam konteks politik, tetapi juga dapat merugikan masyarakat dalam berbagai aspek, termasuk finansial dan moral.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Untuk melawan hoax, kita perlu meningkatkan literasi digital masyarakat. Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan:
- Cek Sumber Informasi
Sebelum membagikan informasi, pastikan sumbernya terpercaya. Situs resmi, media kredibel, dan data yang valid adalah indikator utama. - Gunakan Logika, Bukan Emosi
Jangan mudah terpancing emosi, terutama jika informasi menyangkut tokoh atau isu yang kontroversial. Verifikasi fakta sebelum bereaksi. - Laporkan Konten Hoax
Banyak platform digital, seperti Facebook, Instagram, dan TikTok, menyediakan fitur untuk melaporkan konten palsu. Gunakan fitur ini agar penyebar hoax tidak semakin leluasa. - Edukasi Orang Terdekat
Ajarkan keluarga dan teman untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Diskusikan bagaimana hoax dapat merusak kehidupan pribadi maupun masyarakat.
Sebagai penutup, jangan takut untuk bersuara melawan hoax. Tindakan ini bukan hanya tentang menjaga nama baik seseorang atau pihak tertentu, tetapi juga melindungi integritas informasi di era digital. Jangan sampai emosi dan kebencian kita menjadi alat yang dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi palsu. Mari bijak sebelum forward, demi Indonesia yang lebih cerdas dan harmonis.
*Artikel ini disusun berdasarkan ide dan pengalaman penulis serta dikembangkan dengan bantuan AI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H