Pandemi membuat kegiatan"kerumunan" yang berpotensi memunculkan potensi penularan dilarang. Termasuk kegiatan wisuda mahasiswa yang terjadi di kampus tempat saya mengabdikan diri sebagai dosen.
Pada tahun-tahun sebelumnya, biasanya mahasiswa dan orang tua atau keluarga yang mewakilinya diundang hadir. Turut merasakan kegembiraan. Pada tahun ini cukup di rumah saja. Mahasiswa lengkap menggunakan pakaian kebesaran wisuda, orang tua yang mendampingi atau pihak keluarga tampil dengan pakaian formal.
Rasa haru dan bangga menyeruak di dada, saat saya melihat rekaman acara wisuda via link Youtube. Haru karena dalam masa pandemi yang terasa berat, pendidikan dapat berjalan dalam upaya-upaya terbaik yang diberikan kampus. Termasuk janji melaksanakan kegiatan wisuda sebagai ajang melepas mahasiswa yang sudah selesai mengikuti proses pendidikan. Meski virtual namun tetap terasa sakral.
Bagaimana sebenarnya sikap mahasiswa terhadap kegiatan wisuda virtual ini? Bagaimana perasaan orang tua mahasiswa?
Wisuda Offline : Harapan atau Impian?
Kebijakan kampus yang lazim memberikan undangan terbatas hanya untuk wisudawan dan keluarga serta beberapa dosen sebagai perwakilan, membuat kegiatan wisuda adalah kegiatan seremonial rutin sebuah institusi pendidikan tinggi. Ada kewajiban dosen memberikan ilmu, membimbing dan menghantarkan mahasiswa sampai pada poisisi lulus. Ada kewajiban kampus untuk menyelenggarakan kegiatan wisuda sebagai acara pelepasan mahasiswa.
Tentu hal yang berbeda terjadi pada wisudawan dan keluarga. Mereka sangat menantikan momen berharga ini, setelah bertahun-tahun menyaksikan perjuangan sang anak untuk belajar dan mendapat gelar sarjana. Kegiatan wisuda menjadi prestise terutama bagi keluarga yang tinggal di pelosok. Kegiatan wisuda ini menjadi puncak pencapaian. Tak sedikit yang datang dengan rombongan keluarga besar, meski pendamping yang boleh ikut masuk dibatasi hanya dua orang.
Tak heran jika saya mendengar salah satu rekan menyampaikan ada orang tua menangis karena tidak adanya kegiatan wisuda yang digelar secara offline. Orang tua tersebut merasakan ada momen yang dinantikan tapi tidak bisa terlaksana karena pandemi. Baginya wisuda virtual terasa bak sayur tanpa garam. Hambar.
Rekan tersebut selanjutnya menghibur sang Ibu dengan menyampaikan bahwa mereka masih bisa bergembira dengan membuaat syukuran kecil dihadiri anggota keluarga. Selesai syukuran bisa berfoto bersama sang anak lengkap memakai toga.
Bukan hanya Ibu tadi yang merasakan kerinduan untuk terselenggaranya wisuda secara "normal" alias offline. Dalam hati, saya pun merasakan kerinduan yang sama. Saya memiliki anak yang sudah selesai melaksakan pendidikan di pondok selama enam tahun. Biasanya, pihak pondok setiap tahunnya melaksanakan kegiatan wisuda melepas santri jenjang SMA.Â
Tahun ini tidak bisa terlaksana, bahkan untuk kegiatan wisuda secara virtual pun belum ada rencana. Bagaimanapun kegiatan wisuda secara virtial penyelenggaraannya butuh lebih banyak persiapan secara teknis. Harus matang agar bisa dinikmati oleh wisudawan dari berbagai wilayah dengan kemampuan akses internet yang berbeda.