Dia tidak pernah mengajakku menikah. Mungkin aku dan dia bertakdir seperti ini. Berteman---menikah---pacaran---punya anak dan jadi orang tua. Aku tidak bermimpi akan kehidupan yang demikian. Katanya takdir terbaik adalah apa yang tengah kita jalani. Dan aku percaya akan hal itu.
Jadi teman sekolah selama 3 tahun, Â dua tahun kemudian kami menikah dan 7 tahun kemudian kita punya anak. Rasanya sesingkat itu. Tapi tidak ada yang singkat saat kita harus menjalani kehidupan, bukan?
Tidak ada orang yang baik-baik saja, setiap insan tengah berjuang di jalannya masing-masing.Â
Dia memang tidak pernah mengajakku menikah, tapi aku tidak mempermasalah itu. Dan 8 tahun rumah tangga kita juga tidak baik-baik saja, kita berjuang untuk banyak hal. Kadang kita berjalan, kadang kita berlari dan tak jarang kita juga terjatuh. Tapi kita hadapi semua itu berdua.
Tidak diajak menikah, kok menikah?
Kita dinikahkah. Tentu saja, bukan karena kecelakaan (kata orang begitu)
Entah karena orang tuaku menginginkan aku menikah karena menyukainya, Â atau karena ingin lepas tanggungjawab atas diriku. Aku tidak tahu.
Kita benar-benar masih sangat muda saat itu. Dulu aku sedih karena tidak langsung di kasih keperluan keturunan dari Tuhan. Tapi seiring berjalannya waktu aku sadar, bahwa itu yang terbaik. Aku baru berumur 20-an begitu juga dia. Aku tidak sanggup membayangkan jika kita langsung mempunyai anak. Ada seorang bayi kecil yang harus kita rawat sedangkan kita saja masih seperti anak-anak.
Menikah muda itu tidak buruk. Jika bertemu dengan seseorang yang tepat. Tapi lain halnya jika bertemu dengan orang yang salah. Masa muda akan menguap begitu saja bersamaan dengan tangisan batin.Â
Aku dan dia tumbuh bersama menjadi sosok yang berbeda setelah 8 tahun menikah, kita memang orang yang sama yang mereka nikahkan 8 tahun lalu, tapi sepertinya kita bukan lagi anak-anak itu.