Pada akhir tahun 2022 hingga 2023, Indonesia menghadapi banyak kasus gagal ginjal akut pada anak-anak. Terdapat ribuan anak yang telah dirawat di rumah sakit dan terdapat ratusan anak di antaranya meninggal. Investigasi mendalam menemukan bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan kasus ini adalah obat sirup yang terkontaminasi zat berbahaya. EG (Ethylene Glycol) dan DE (Diethylene Glycol) adalah dua jenis bahan kimia yang umum digunakan sebagai pelarut dalam industri farmasi. Namun, kedua bahan tersebut ditemukan dengan konsentrasi tinggi dalam beberapa obat sirup anak yang dijual di pasaran. Obat-obatan yang seharusnya menyembuhkan penyakit ringan pada anak seperti demam dan batuk, justru menyebabkan gagal ginjal akut yang fatal.
Kasus ini cukup berbahaya, terutama bagi anak-anak yang kondisi tubuhnya memiliki imun lemah. Zat berbahaya seperti EG dan DEG dapat merusak ginjal dengan cepat sehingga menyebabkan penurunan jumlah urin yang signifikan, pembengkakan tubuh, dan kerusakan ginjal. Karena gejala korban seringkali muncul dengan cepat, sehingga banyak orang tua yang tidak menyadari ancaman tersebut. Akibatnya, kasus ini menimbulkan banyak kekhawatiran di kalangan masyarakat dan menjadi bukti bahwa sistem pengawasan farmasi di Indonesia masih kurang efektif.
Kasus ini bermula dari laporan bahwa banyak anak yang menderita gagal ginjal akut yang dirawat di rumah sakit. Pada awalnya, dokter mengira anak tersebut terkena infeksi atau faktor lingkungan. Namun, pola yang ditunjukkan dari hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa mayoritas pasien tersebut telah mengonsumsi obat sirup pada waktu yang bersamaan. Setelah dilakukan penyelidikan menyeluruh, ternyata obat-obatan tersebut telah terkontaminasi zat berbahaya.
Dugaan awal menunjukkan bahwa terdapat pemasok tidak bertanggung jawab yang tidak memenuhi standar keamanan memproduksi bahan baku yang digunakan dalam pembuatan obat. Sayangnya, karena kurang pengawasan yang ketat sehingga menyebabkan bahan baku berbahaya ini digunakan dalam pembuatan obat dan akhirnya dipasarkan secara luas.
Kasus ini menunjukkan bahwa sistem regulasi dan pengawasan farmasi di Indonesia masih lemah. Sistem pengawasan obat masih memiliki banyak celah yang memungkinkan produk berbahaya masuk ke pasar. Proses pengujian bahan baku dan produk jadi dianggap tidak cukup ketat untuk mengidentifikasi zat berbahaya seperti EG dan DEG. Selain itu, toleransi terhadap bahan kimia dalam produk farmasi juga dianggap kurang ketat, sehingga masih dapat meningkatkan pelanggaran. Hal ini menjadi pengingat bahwa produk sediaan farmasi tidak boleh dianggap sepele, terutama untuk anak-anak.
Secara keseluruhan, kasus ini juga dapat berdampak pada masyarakat. Banyak orang tua tidak lagi percaya pada obat-obatan, terutama sirup untuk anak-anak. Banyak dari mereka yang menolak obat-obatan kimia karena trauma dan lebih memilih pengobatan alternatif yang dianggap lebih aman. Namun, langkah-langkah ini sering kali tidak didukung oleh bukti ilmiah yang memadai, sehingga tetap mengancam kesehatan anak-anak. Akibat dari kasus ini, masyarakat pun menjadi khawatir tentang bagaimana pemerintah dan lembaga pengawasan seperti BPOM dapat melindungi konsumen dari produk berbahaya.
Pemerintah segera mengambil tindakan darurat untuk mengurangi dampak krisis ini. Terdapat  kebijakan yang dibuat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menghilangkan semua obat sirup yang diduga mengandung zat berbahaya dari pasar. Selain itu, BPOM juga memberlakukan larangan sementara terhadap penggunaan beberapa obat sirup hingga penyelidikan lebih lanjut selesai. Langkah ini diikuti dengan peningkatan pengawasan terhadap bahan baku farmasi, terutama yang diimpor dari luar negeri. Semua bahan baku harus diuji lebih ketat sebelum digunakan dalam produksi. Harapannya tindakan ini dapat membantu untuk mencegah zat berbahaya masuk dalam produk sediaan farmasi.
Pemerintah juga menjatuhkan sanksi berat kepada perusahaan farmasi yang terbukti melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan. Sebagian besar perusahaan besar dikenai denda miliaran rupiah sedangkan para petingginya dijatuhi hukuman pidana. Selain menjadi peringatan bagi perusahaan farmasi lain untuk lebih berhati-hati dalam memastikan kualitas produk mereka, hukuman ini juga bertujuan untuk memberikan keadilan bagi para korban. Meskipun upaya-upaya ini telah dilakukan, ternyata masih terdapat banyak orang yang menganggapnya tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Pada tahun yang akan datang, sistem pengawasan farmasi di Indonesia harus direformasi secara menyeluruh. Peningkatan standar pengujian obat, perbaikan regulasi bahan kimia, dan peningkatan transparansi dalam proses produksi adalah beberapa tindakan konkret yang dapat diambil. Selain itu, pemerintah juga dapat bertanggung jawab secara langsung untuk memastikan semua obat yang dibuat di dalam negeri maupun yang diimpor dari luar negeri dapat lolos memenuhi standar keamanan internasional. Dalam upaya mengurangi risiko produk sediaan farmasi yang berbahaya, maka harus menggunakan teknologi yang canggih untuk mengidentifikasi zat berbahaya dalam obat.
Tindakan menginformasikan masyarakat menjadi hal yang penting untuk mencegah kasus serupa. Untuk membuat masyarakat lebih cerdas ketika menggunakan obat, maka perlu diadakan kampanye tentang kesadaran terkait keamanan obat. Banyak masyarakat yang mungkin masih salah membaca informasi label produk atau belum mengetahui cara memeriksa izin edar obat. Untuk memahami kandungan obat dan memeriksa izin BPOM, maka masyarakat juga bisa mengaksesnya melalui berbagai media platform, seperti media sosial.
Obat sirup menjadi penyebab gagal ginjal akut pada banyak keluarga di Indonesia. Kasus ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan obat masih lemah dan mejadi pengingat bahwa keamanan konsumen harus menjadi prioritas utama dalam industri farmasi. Kasus ini seharusnya dapat mengubah sudut pandang industri farmasi dan sistem regulasi di Indonesia terkait keamanan obat yang beredar di pasaran. Dengan melakukan tindakan nyata yang menjamin keamanan produk sediaan farmasi di masa depan, maka kepercayaan masyarakat terhadap industri farmasi yang sempat terguncang seharusnya dapat segera dikembalikan.