Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nenek Misterius

4 Desember 2021   11:30 Diperbarui: 4 Desember 2021   11:42 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: fimela.com

"Tadi habis sholat shubuh ke masjid Nenek nggak pulang, tapi langsung naik taksi ke stasiun."

"Pasti mereka sedang panik dan nyariin Nenek," ujarku khawatir. Apa Mama juga sedang khawatir dan mencariku? 

"Nggak bakalan, Nak. Jam segini mereka masih pada tidur. Ini kan hari libur."

"Kalau gitu, Nenek kirim pesan saja lewat sms atau whatsapp, kasih tahu kalau Nenek pergi ke rumah saudara, biar keluarga Nenek nggak khawatir" timpalku menasihati. Menasihati? Sejak kapan aku peduli dengan perasaan Mama? Maafin aku, Ma!.

Aku pun menawarkan diri untuk mengantarkan Nenek sampai Jasinga. Toh, aku tak punya tujuan pasti. Kami pun meneruskan langkah menembus jalan raya di pinggir pasar Parung Panjang yang becek dan berlumpur. Angkutan yang akan mengantarkan kami ke Kadaka baru terisi beberapa orang. Sopir tak akan pernah mau menyalakan mesin mobil sebelum seluruh penumpak duduk berdesakan.

Dari Kadaka, nanti kami harus berganti angkot jurusan Bogor - Jasinga dan turun depan rumah saudara nenek misterius itu. Semoga saja kami tak kesasar dan segera menemukan rumah yang dituju.

Nenek mengambil dompet dari tasnya dan memberiku uang untuk membayar ongkos kami berdua. Sekilas terlihat di dalam tasnya banyak dokumen, buku tabungan, dan setumpuk uang berwarna merah.

"Nih, lihat. Nenek punya usaha Metro Trans. Dulu Nenek punya banyak Kopaja, terus nenek jual tuker tambah sama Metro Trans. Makanya kamu nggak usah khawatir, uang Nenek banyak," ujarnya seraya menunjukkan foto-foto armada busnya, dan buku tabungan berwarna biru, sebuah bank swasta besar Indonesia.

Aku mengangguk. Jangan-jangan Nenek ini pencuri? Bisa saja kan, dia mencuri di rumah saudara, atau kerabat, bahkan anaknya sendiri, lalu kabur? Ah, tapi itu tidak mungkin kan? Wajahnya terlalu lugu untuk menjadi pencuri. Lalu, bagaimana denganku? Bukankah wajahku juga polos, tapi kenapa aku juga mencuri uang Mama untuk top up?

Singkat cerita, setelah berkali-kali nyasar kami pun sampai ke Jasinga. Aku pun berpamitan kepada Nenek, setelah dia masuk ke sebuah rumah kuno yang sangat besar. Ternyata dugaanku salah. Nenek berkerudung putih itu orang kaya betulan, bukan pencuri.

Oya, harusnya aku sampaikan ke saudara si nenek kalau dia minggat dari rumah. Tentu keluarganya khawatir dan mencarinya ke mana-mana, atau bahkan lapor polisi. Aku pun berbalik dan mengetuk pintu. Sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun