Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kue Lebaran untuk Nenek Bermata Perak

16 Mei 2021   19:24 Diperbarui: 16 Mei 2021   19:33 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami tak tahu namanya, jadi kami menyebutnya nenek bermata perak karena kedua bola matanya keperakan terkena katarak. Awal perkenalan kami di sebuah gang sempit. Waktu itu, dia dengan terbungkuk-bungku, berpegangan pada dinding rumah, berjalan di depan kami. Aku dan dua anak kembarku dengan sabar mengikutinya dari belakang.

"Ibuk, kita permisi aja ya?" Salah satu dari anak kembarku memberikan usulan. Dia lelah karena harus berjalan dengan kecepatan seekor siput.

"Sabar ya, Dek. Kita tetap nggak bisa nyalip. Pertama, nggak muat. Kedua, Rasulullah mengajarkan kita untuk menghormati nenek-nenek."

"Kok, Ibuk tahu?"

"Menurut riwayat, saat hendak mengimami salat subuh, Rasulullah memperlama rukuknya karena Sayyidina Ali terlambat datang ke masjid. Beliau terlambat karena di depannya ada kakek-kakek Yahudi yang jalannya lama kayak nenek di depan itu."

Si Kembar pun paham akan penjelasanku. Kami mengikuti perempuan renta bungkuk yang menyeret tubuhnya - berpegangan pada dinding - sepanjang gang senggol yang dipagari rumah-rumah penduduk. Lalu ia berbelok ke kiri, lurus, dan sampailah kami pada sebuah undakan. 

Dengan susah payah ia meletakkan tongkatnya, merangkak menaiki dua undakan. Setelah sampai di atas, ia berusaha bangkit dan meraih tongkat. Tangannya yang ringkih tak mampu mengangkat beban tubuh. Aku berlari menyambar ketiaknya dan membantunya bangkit. Si Kembar meraih tongkat dan memberikan ke tangan kirinya.

Keringat membasahi keningku. Ternyata tubuh nenek itu lumayan berat. Nyaris saja kami jatuh bersamaan. Setelah berhasil bangkit, ia meraih tongkat menggunakan tangan kiri, dan tangan kanannya berpegangan pada dinding rumah. Kami pun memulai obrolan.

"Terima kasih banyak, Nak. Maaf Nenek sudah merepotkan. Silakan kalau mau jalan duluan, kasihan kalau harus nunggu Nenek."

Kami dengan halus menolak dan bersikukuh akan mengantarnya sampai ke rumah. Itulah awal perkenalan kami. Si Kembar yang sudah tidak memiliki nenek sangat senang. Mereka berdua merasa memiliki nenek kembali. Ternyata nenek bungkuk bermata perak itu sebatang kara. Ia memiliki lima orang anak, tapi harus menghabiskan masa tuanya dalam kesepian dan kesulitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun