"Sama ini, tawa kunti juga. Inget-inget kalau tawanya pelan, artinya dia deket. Kalau keras, artinya dia jauh," lanjut tetangga, perempuan tua yang sudah sejak gadis remaja tinggal di daerah perkampungan dekat makam ini.
***
Sejak aroma melati yang datang dua kali dalam seminggu itu, aku tak berani tidur sendiri. Karena suami sering kerja shitt malam, terpaksa kami tidur berdesakan, berempat dengan anak-anak. Atau bahkan kami, aku dan Ammar memilih begadang karena tidak berani tidur saking takutnya.
Malam itu, hawa dingin kembali menyerbu. Si kembar sudah tertidur pulas setelah capek belajar dan main game. Aku pun berniat merebahkan diri di pojok kasur, di samping dua anak kembarku itu.Â
Tiba-tiba hawa dingin semakin tajam, menelusup lewat kisi-kisi jendela. Aku pun bergegas memeriksa kaca nako, khawatir lupa belum ditutup. Ternyata sudah ttertutup rapat.
Aku kembali meringkuk ke dalam selimut. Semilir angin kembali menggoyangkan kain putih bekas mukena yang aku jadikan gordyn. Aroma wangi melati kembali menguar. Jantungku berdegup kencang. Aku mempererat balutan selimut dan menenggelamkan kepala rapat-rapat.
Samar, terdengar suara tawa perempuan. Satu, dua, tiga, tawa itu bersaut-sautan, memecah malam yang sepi dan dingin. Aku menajamkan pendengaran. Suara tawa itu semakin jelas.Â
Siapa, yang iseng rame-rame tertawa malam-malam begini? Kalau tak salah ini sudah lewat tengah malam, karena saat memerika jendela tadi aku sempat melirik jam dinding dan sudah ada di angka 12.00.
"Kalau suaranya pelan berarti kuntilanaknya dekat!"
Asttaghifirullah, suara Nenek Minah, tetangga yang bercerita tentang mitos kuntilanak itu terngiang kembali. Jangan-jangan itu kuntilanak beneran? Suaranya pelan. Itu artinya dia dekat?Â
Tubuhku semakin bergetar ketakutan. Jantungku berdegup semakin cepat. Ingin rasanya bangun, berlari ke kamar atas memanggil Ammar yang sudah tidur pulas di kamarnya.