Pekan-pekan terakhir ini, kita diramaikan dengan pemberitaan penyelewengan dana oleh para petinggi sebuah yayasan amal. Ironisnya adalah sebuah lembaga filantropi yang menyebut dirinya membantu sesama umat muslim yang tertindas. Sebagai salah satu negeri dengan jumlah pemeluk agama islam terbesar, kita memiliki ghiroh berbagi dalam keagamaan yang tinggi. Inilah salah satu hal yang membuat lembaga-lembaga filantropi berbasis agama selalu sukses, terlebih setelah pasca reformasi.
Mengamati geliat filantropi yang tumbuh subur dewasa ini seiring dengan naiknya konservatifme dan gerakan sejenisnya yang semakin menggeliat. Peristiwa beberapa tahun lalu seperti 212 adalah bukti nyata bahwa umat islam sendiri dalam keadaan yang dikontrol oleh kuasa. Saya ingin memulainya dari gerakan social masyarakat muslim, khususnya pada muslim urban dan kelas menengah.
Jika diperhatikan secara seksama, sebenarnya gerakan kedermawanan dalam semangat keagamaan tidak  hanya fenomena di Indonesia saja, melainkan juga di beberapa negara islam lain, seperti Mesir, Arab Saudi, Afganistan, Yaman dll. Kita menyebut gerakan semacam ini karena dorongan islamisme dan semangat konservatifme. Menurut Roald (2004) gerakan ini berusaha memperluas dan menerapkan islam melampaui apa yang umumnya dianggap sebagai wilayah privat demi untuk memengaruhi wilayah publik, islamisme mengusung gagasan bahwa islam merupakan suatu sistem atau bangunan nilai, keyakinan, dan praktik yang lengkap melingkupi semua wilayah kehidupan.
Bagi gerakan islamis, mereka berusaha utuk membangun jaringan menyeluruh pada tatanan politik, kedermawanan, dan semua bentuk aktivisme. Semua jaringan ini saling memperkuat antara satu dengan yang lain  dan mendorong keutamaan publik serta kesalehan pribadi. Jika diamati gerakan islamis yang muncul belum lama ini, semacam 212, Hizbut Tahrir, dan gerakan Hijrah yang banyak merekrut para artis di Indonesia bisa jadi karena semangat dorongan akan islamisme.
Arus ini tumbuh subur dengan dilandasi semangat konservatif dengan iming-iming romantisme masa kejayaan islam. Kaum islamis berusaha keras untuk membangkitkan kembali masyarakat madani seperti era abad pertengahan. Mereka berusaha untuk selalu memberi nafas-nafas islam dalam segala lini kehidupan.
Dalam dunia politik, kalangan islamis mencoba menerapkan hukum islam dengan menggelorakan hukum syariah melalui perda-perda syariah. Pembacaan islam seperti ini menempatkan semangat islamisme harus bersinggungan dan menari bersama kapitalisme, menjadikan pakem-pakem dalam beragama sebagai sebuah produk, menempatkan kata syari'ah sebagai label, menganggap yang tidak ada kata syariah adalah tidak syari'ah dan tidak sesuai dengan agama.
Gairah "hijrah" muncul dalam masyarakat muslim kelas menengah yang berpenghasilan tetap dan bisa memenuhi kebutuhan ekonominya, tapi nihil dalam pemenuhan kebutuhan jiwa dan spiritual. Kehidupan urban yang kapitalistik telah menelantarkan cukup jauh manusia sebagai sebuah makhluk spiritual.
Islamisme datang bak pahlawan yang memberikan udara kesegaran dalam kehidupan urban yang penuh kabut polusi. Ia menawarkan prinsip-prinsip islam sebagai solusi ketenangan. Mendorong setiap insan untuk melakukan hijrah, bukan perjalanan spiritual dengan kesadaran kemanusiaan, melainkan dengan dogma-dogma hitam putih. Mengganti pakaian dengan yang lebih bersyariah, menggunakan jasa salon yang bersyariah, sampai kulkas dan sepatu yang syar'i.
Fenomena ini berhasil mendorong umat muslim perkotaan berkumpul dan membentuk gerakan. Dintara gerakan yang banyak dibentuk adalah gerakan kemanusiaan, di mana sedekah menjadi salah satu solusi dalam islam untuk mengentaskan kemiskinan. Hal ini diserap baik oleh kalangan islamis sehingga banyak ditemui gerakan-gerakan sosial berbasis amal dan keagaman di mana-mana.
Tentu saja hal diatas memberikan sumbangsih besar dalam rangka mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial. Akan tetapi dalam dunia berebut kekuasaan, gerakan sosial islamis semacam ini menjadi rentan dipengaruhi oleh golongan politik tertentu yang hanya bertujuan untuk mengambil manfaat dari sebuah gerakan, seperti kita saksikan pada pagelaran kontestasi pemilu dalam beberapa dekade ini.
Ironisnya, siapapun yang sedang meneguk kenikmatan arak surgawi---meminjam istilah Rumi, acap abai membaca realitas di sekeliling kehidupannya. Keadaan ini menjadikan dirinya tidak sadar jika dalam waktu yang bersamaan ada segelintir orang yang mengambil peluang. Di sisi lain karena agenda politik yang sama memutuskan para simpatisan gerakan islamis pada gerakan politik tertentu. Â Kesamaan atas apa yang diperjuangkan, kalangan islamis berharap dapat menemukan agenda tertentu yang nantinya dapat melancarkan urusan internal mereka yaitu gerakan sosial dan dakwah, dalam gerakan kedermawanan yang membebaskan dari islam yang "tertindas". Narasi yang pas untuk mengeruk dana umat atau meraih kursi kekuasaan.