"Bu, sakit ..." Arya memegangi pipinya yang bengkak dengan tangan kanannya. Bagian bawah telinganya bengkak dan sedikit merah, kanan dan kiri. Wajahnya juga memerah karena tegang menahan nyeri.
Aku menyentuh keningnya, lalu beristighfar pelan, " Panas sekali, Dek!"
Kemudian aku beranjak mencari termometer. Terkadang persepsi tidak menunjukkan keadaan yang sebenarnya, aku membutuhkan termometer untuk memastikan suhu tubuh Arya.
Aku kembali ke kamar dimana Arya sedang berbaring, dengan sedikit kekecewaan karena tidak memperoleh benda yang aku butuhkan. Sikapku yang abai dan ceroboh dalam menyimpan barang-barang kini menuai hasilnya.Â
"Minum obat dulu, ya, Dek. Setelah Ayah pulang, kita ke dokter, ya?" Aku mengambil obat yang selalu tersedia di kotak obat. Paracetamol. Apapun sakitnya Paracetamol obatnya. Obat satu ini tak pernah absen dari kotak obatku, bukan hanya karena obat ini paling aman, tapi bisa meredakan nyeri dan demam.
Arya minum obat yang aku sodorkan dengan pisang. Anak laki-laki sepuluh tahun itu sudah pandai minum obat dengan menggunakan apapun, seperti; pisang, nasi, roti, pepaya, bahkan dengan air putih. Obat berbagai ukuran tidak menjadi masalah untuknya, hal ini sangat aku syukuri, terutama saat sakit seperti sekarang.
Arya mengeluh sakit sejak hari Minggu kemarin, badannya demam, di bagian bawah kedua telinganya bengkak, dia juga mengeluh pusing. Melihat bengkak di bawah telinganya aku mengira dia gondongan. Gondongan adalah penyakit akibat virus yang menyerang kelenjar parotis yang ada di bawah telinga. Karena penyakit akibat virus, obat terbaik adalah daya tahan tubuh yang kuat. Jadi aku hanya memberikan obat pereda nyeri dan demam saja. Apalagi kondisi Arya juga masih baik, masih semangat makan dan minum. Aku berpikir positif, daya tahan tubuh Arya mampu mengatasi virus ini.
Senin pagi, aku tetap bekerja karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Tak lupa aku berpesan kepada ibu pengasuh ---yang biasa menjaga Arya--- untuk mengingatkan makan dan minum obatnya. Ternyata sore ini saat aku pulang kerja, kondisinya semakin lemah dan mengkhawatirkan. Badannya panas, bengkak di pipinya semakin besar, dia juga mengeluh pusing, apalagi ada bapilnya, saat batuk, makanan yang dipaksa masuk meski sedikit itu pun keluar semua. Aku sedih melihat kondisinya, sedikit penyesalan perlahan muncul.
Beberapa saat kemudian terdengar suara motor, Ayah datang. Setelah mandi dan menyiapkan segalanya, termasuk kemungkinan terburuk jika harus menginap di rumah sakit, aku dan Arya berangkat ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Arya disambut dengan petugas yang ramah. Petugas itu menyiapkan brankar, membantu Arya naik ke brankar itu, kemudian mendorongnya ke ruang periksa, lalu memintaku untuk mendaftar di loket pendaftaran.
Petugas mencatat kondisi umum Arya, yang meliputi; identitas, usia, BB, gejala yang dialami, kapan mulai terasa gejala itu hingga obat apa yang sudah dikonsumsi. Setelah pemeriksaan awal itu selesai, petugas kemudian pergi untuk melaporkan kepada dokter jaga.