Ibu memeluk anaknya, air matanya perlahan menetes membasahi pipi keriputnya.
Kerinduannya kepada anak perempuannya yang sudah lama tidak dijumpainya membawa keharuan.
Asih melepaskan pelukannya, lalu mengusap air mata yang menggenang di pelupuk mata ibunya.
"Kenapa, Bu?" tanyanya seraya menatap mata ibunya.
Ibunya hanya menggelengkan kepala, air mata masih menetes di mata sendu itu, membuat Asih bertanya-tanya, lalu kembali memeluk tubuh ringkih itu.
Asih berusaha menahan air matanya, tubuh ibunya kurus tinggal tulang, seperti dulu, tidak pernah berubah.
Namun, dibalik tubuh yang terlihat ringkih itu ibunya adalah perempuan kuat. Ibu, perempuan yang tabah menghadapi ujian kehidupan. Ibu telah menjadi anak berbakti dengan merawat orang tuanya yang sakit bertahun-tahun, hingga sekarang masih terus berbakti dengan mendoakan orang tuanya di setiap sujudnya.Â
Ibu menjadi istri yang patuh pada suami, meskipun suaminya memberi nafkah yang tidak mencukupi kebutuhan, hingga ibu harus memeras otak untuk menjaga dapur tetap mengepul. Meskipun suaminya tega meninggalkan ibu di saat beliau akan melahirkan, hingga ibu harus berjibaku dengan rasa sakit kontraksi dan sakit hati. Suaminya bahkan tega melakukan kekerasan, memukul ibu saat ada masalah. Ibu tetaplah istri yang berbakti kepada suami, bahkan di saat suaminya sakit, beliau merawatnya dengan sepenuh hati, hingga suaminya menghembuskan nafas terakhirnya. Sampai sekarang, ibu masih terus berkunjung ke makam suaminya dan mendoakannya.Â
Ibu menjadi ibu terbaik untuk anak-anaknya. Untuk hal ini, Asih merasa tidak punya kata yang tepat untuk menggambarkan melimpahnya kasih sayang ibu.Â
Asih menghapus air di sudut matanya. Mengingat perjuangan ibu yang melahirkan dan membesarkannya selalu menyisakan bengkak di kedua matanya.Â
"Ibu, ada apa? Asih sudah di sini, "ucapnya di telinga ibunya.