" Pulang jam berapa, Ya?" tanyaku melihat jam yang menunjuk pukul 14.00 wib. Teman-teman kantor sudah pulang satu jam yang lalu. Aku memilih menemani Dayana sampai dia bosan atau aku yang bosan? Baru satu jam berlalu dan aku sudah mengeluh, menanyakan kapan bestie cantikku ini menutup laptopnya dan  beranjak  pulang. Tapi aku sedang malas pulang ke rumah, entah kenapa, aku hanya sedang bosan.
" Keretaku berangkat jam 15.35 wib, Kasih ... kamu pulang saja. Aku nggak apa-apa sendiri disini," Dayana masih asyik dengan ppt-nya, sebentar kemudian mengetik sesuatu.Â
Aku malas pulang, kataku dalam hati. Ah, andai sudah gajian, aku mau sekarang makan siang ditemani es buah. Pasti nikmat sekali disantap saat panas terik seperti ini. Apa daya masih tengah bulan, sementara kebutuhan terus berkejaran, tidak mau menunggu tanggal muda. Ada saja pengeluaran, alih-alih kebutuhan harian yang sudah ada pos-nya. Ini pengeluaran mendadak yang tidak ada pos-nya, justru malah lebih besar. Nasib ... karyawan yang hanya mengandalkan gaji.
" Belum selesai tugasnya?" Aku mengalihkan pembicaraan, daripada keterusan membayangkan  semangkuk es buah segar yang hanya dalam angan.
" Dikit lagi, tinggal nambahin sedikit di bagian akhir!" jawabnya, matanya tak lepas dari laptop didepannya.
" Andai Bu Direktur tau kinerja karyawan nya macam ini. Wah, sudah langsung dapet promosi jabatan kamu, Ya!"
Dayana tertawa. "Naik jabatan tidak semudah itu, Esmeralda. Memangnya ini kantor punya nenek moyangmu," katanya sambil tertawa.
"Lagian, kamu itu, jadi karyawan rajin banget. Yang lain pulang jam dua, kamu jam enem. Pernah pulang jam sembilan malam. Pagi-pagi yang lain belum datang, kamu sudah nyampe sini lagi. Kenapa gak sekalian aja kamu nginep disini, Dayana ... " Dayana hanya tersenyum kecut.
" Bukan ... aku tuh ngerasa harus belajar lebih banyak. Kalau orang lain bisa menyelesaikan satu jam, aku butuh waktu lebih lama. Itulah yang bikin aku jadi gak pulang-pulang."
"Itu karena kamu mikirin-nya sampai detail. Mulai dari awal, proses sampai dampaknya. Kamu pikirin semua. Kalau menurut aku sih, perfeksionis itu namanya!" jawabku sok tau. Tapi begitulah yang aku lihat.
" Udahlah ... pekerjaan itu gak ada habisnya. Kasian orang rumah. Mereka juga butuh perhatian kamu. Untung banget suami kamu sabar. Coba kalau suami aku? Uhhh ... bisa perang dunia tiap hari." kataku lagi. Aku terkekeh geli sendiri, membayangkan perang dunia ketiga terjadi di rumah.