Reformasi 1999 yang mengandung gempuran penguatan demokrasi liberal hanya melahirkan lembaga2 yg tidak punya kekuatan, tidak Tegas dan tidak Ajeg dan selalu tergoyahkan. Lembaga-lembaga yang ada saling berebut wewenang dan otoritas. Ketumpang tindihan wewenang dan otoritas akhirnya melemahkan secara keseluruhan sistem Pemerintahan dan Ketatanegaraan Indonesia. Kita lihat saja:
KPK rebutan dengan Polri
Jaksa -> Polri
MA. - MK
MA- Komisi Yudisial
KPU - MK
KPU - DKPP
KPU - Bawaslu
Polri - Komnas HAM
Polri - TNI
KPPU - Komisi Penyiaran Indonesia                                                           Jaksa - KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
Jaksa- PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)
PTUN-MA
Ombusman - Komnas HAM
OJK- Bank Indonesia
Bank Exim- Lembaga Ekspor Impor
BKPM- Bappepti
Polri -LPSK
dan seterusnya,
yang pasal perpasalnya akan segera ditampilkan. Namun karena saya bukan dari latar belakang hukum, maka yang ditampilkan hanyalah gejala yang mengemuka dan dapat dikenali oleh publik. Belum lagi Departemen Pemerintahan yang tumpang tindih wewenangnya, rebutan proyek, lempar-lemparan masalah dsb.
Perebutan wewenang dan otoritas yg terjadi di antara lembaga pada akhirnya membuat kelimbungan, kelinglungan, ketidak kuatan otoritas kelembagaan secara politik publik maupun secara legal negara. Segala bentuk rebutan kewenangan, berkombinasi dengan ego sektoral, baik didukung oleh Departemen pemerintahan maupun lembaga non departemen. Ditambah lagi ada posisi Wakil Menteri, Penasehat presiden, komplit lah kekacauan sistem Pemerintahan yang seharusnya Rapi dengan adanya Lembaga dan Badan atau Institusi Negara. Yang lebih memprihatinkan adalah aparat, pejabat atau orang yang menduduki posisi-posisi tersebut. Banyak diantaranya merupakan orang yang berpindah dari satu lembaga ke lembaga lain, yang juga lebih aneh kondisi ini hampir luput dari pemberitaan media. Media cenderung mempermasalahkan hasil kekacauan yang terjadi karena benturan wewenang atau rebutan wewenangnya. Seperti yang baru terjadi di Sumatera Selatan, ketika KPU sudah memutuskan kemenangan suatu pasangan calon lalu dibatalkan oleh MK sementara sebelum proses ke arah MK, mungkin lembaga Bawaslu, DKPP sudah terlibat, namun apa yang terjadi...
Pembakaran dan kemarahan Rakyat. Di Bali, juga sedang terjadi dimana ada Bawaslu, ada KPUD namun kewenangan hampir tak ada hingga akhirnya proses Pemilu yang tak demokratis terjadi. Rakyat Indonesia sejak 2004 disuguhi, disajikan demokrasi yang tidak Fair/tidak sesuai keadaban publik, dimana hasil Pemilu 2004 dan 2009 bukanlah hasil demokrasi yang baik dan demokratis.
Kehadiran lembaga-lembaga baru tidaklah membuat wewenang Lembaga yang ada menguat dalam menjaga koridor demokrasi, semata-mata karena orang Yang Memimpin dipucuk Pimpinan Negara tidak memiliki Kekuatan Memimpin dalam konteks demokrasi Presidensial, Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Maka ribuan bentuk lembaga baru tak akan ada artinya, bila manusia pelaksananya menconton dari Pemimpin tertingginya. Tak perlu lembaga baru yang rata-rata pendiriannya juga tak pernah diketahui oleh Rakyat mayoritas. Lembaga baru dan lama yang tidak efektif membuang-buang uang negara APBN, lebih baik dibubarkan saja, mengacu semua pada UUD 1945..
Lembaga baru yang paling berkuasa antara lain bebebrapa orang HAKIM KONSTITUSI...super interpreter UUD 1945. Bandingkan dengan masa-masa sebelum 1999, atau mungkin pada masa 2000-2004, Indonesia adalah Negara PRESIDENSIAL, maka Presidenlah KEPALA NEGARA, dan KEPALA PEMERINTAHAN, lembaga-lembaga yang ada atau institusi hanyalah tangan, kaki, mata-telinga (intelejen), mulut..Namun, sekali lagi kedaulatan rakyat yang diserahkan kepada Presiden telah dipreteli sejak 2000 dengan Amandemen yang dimotori oleh Amin Rais (Ketua MPR- antek USA)...
Lebih baik kembali kepada kekuatan sistem presidensil, toh realitas praktiknya, lembaga-lembaga baru yang didirikan adalah mengangkat Beberapa Orang untuk Duduk Di Lembaga tersebut dengan SK presiden, lalu karena sebuah lembaga, maka diberikan Kantor,diberikan anggaran...padahal wewenang dan otoritas bagi Perlindungan, Memajukan dan Mencerdaskan rakyatnya hampir tak ada, tak terasa...lalu buat apa diadakan...
Selayaknya DIHENTIKAN pendirian lembaga baru, karena pendirian lembaga baru hanya menyuburkan Birokratisme. Rakyat harus diajarkan proses demokrasi, proses pengambilan keputusannya sendiri, dan bukan menyerahkan segalanya pada lembaga-lembaga yang sesungguhnya tidak bisa memutuskan karena tidak ada wewenang yang kuat.
@umilasminah @wartafeminis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H