Didalam kehidupan ekonomi modern pedagang mencari keuntungan dari dagangannya adalah wajar. Sedangkan prinsip ekonomi kapitalis 'dengan modal sekecil-kecilnya mendapat keuntungan sebesar-besarnya" ada juga yang menjalankannya. Biasanya keutamaan mencari keuntungan dilakukan perusahaan besar jumlah karyawan besar, kalau rugi bisa pailit, bikin susah banyak pihak.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia baik di kota maupun di desa dalam perdagangan, khususnya pedagang kecil terutama kali pedagang keliling begerobak atau dipikul. Apapun dagangannya merupakan contoh transaksi non kapitalis dengan rasa yang menaunginya. Percaya, baik dan wajar.
Di Jakarta penjual keliling produk siomai, bakwan, bubur ayam/kacang, ketoprak, ketupat biasa dikenal dengan sebutan tukang 'nama produk'. Mereka inilah pelaku utama perdagangan non kapitalis, terutama melawan nilai lebih dari produk. Harga produk meski tetap, selalu ada perkecualian: ada yang boleh ngutang, pembeli anak2, mereka yang nawar.
Suatu ketika, tukang ketupat sayur harga seporsi Rp. 8000,-, lalu ada ibu yang bang beli sayurnya saja Rp. 5000,- bisa? Abangnya jawab bisa. Si Ibu membawa mangkuk. Â Anak kecil, datang ke tukang siomai, bang beli bang, dia hanya membawa uang selembar kertas Rp. 2000,-, sang Tukang Siomai memberikan anak didalam plastik kecil 2 buah dengan sambal kacang dan kecap. Ada juga penjual es potong, es yang panjang dipotong sesuai uang yang anda miliki. Penjual Es P otong dapat ditemui di Jakarta Kota.Meskipun kegiatan ekonomi rakyat kecil, sederhana dan baik, tentunya bila mengikuti jalan pembiayaan hidup masyarakat sekarang penghasilannya para tukang tak mencukupi. Disinilah Negara bisa masuk memberikan insentif usaha atau insentif penghasilan. Sehingga walaupun sudah jadi negeri makmur maju, tukang keliling masih ada, dan berpenghasilan baik. Bagi yang menyukai pekerjaannya tentu saja.
Ada lagi yang saya temui, yang memberi saya pelajaran tentang transaksi kebaikan.
Ketika saya ke Solo tahun 2012 saya lihat bapak2 tua bawa tape singkong jual dipikul, saya samperin, saya ingin beli sedikit, saya tanya: "berapa harganya?" Â
Bapak tua lalu menjawab: "terserah". Wahhh  Sejak itu saya percaya ada konsep ada suatu material yg bisa diukur/measure tanpa bantun dominan materi, tetapi pertimbangan rasa. Sewajarnya, serelanya. Itulah juga yang menjadi pegangan saya bertransaksi dalam usaha. Mengutamakan rasa, ketiga rasa di atas. Bahasa terkini sewajarnya adalah realistis.
Sampai detik ini saya mensyukuri pertemuan itu, berkah pelajaran yang didapat dari suatu momen singkat.
Berkah itu tak mengenal waktu bagi yang selalu bersyukur.
@umilasminah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H