Review Film Ketika Mas Gagah Pergi
Tidak adil memang bila membandingkan antara buku dengan filmya. Karakter buku dan film berbeda. Bagi pembaca buku akan lebih menikmati sebuah karya melalui media kata-kata. Juga sebaliknya, bagi pecinta film lebih nyaman melihat langsung adegan demi adegan. Artinya pasar buku dan film juga tidak sama. Maka tidak jarang orang merasa kecewa saat menonton sebuah film yang diadaptasi dari buku.
Aktifitas membaca memberi ruang imajenasi pembaca memvisualisasikan sendiri tiap adegan dalam alur cerita. Unlimeted imagination. Sementara film menyuguhnya visualisasi berupa setting, angel kamera, jalan cerita, aktor dan akting serta audio berupa soundtrack dan backsound. Dan karena keterbatasan durasi yang sekitar 90 menit, film menjadi tidak lebih bebas dari buku. Kesenjangan antara imajenasi pembaca dengan visulisasi film inilah yang akhirnya penyebab ‘film gagal’.
Film Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) adalah kasus unik tentang hubungan imajinasi pembaca dan visualisasi film. Karena penulis buku sekaligus produser film KMGP, Helvy Tiana Rosa berjanji akan mempertahankan ‘jiwa’ bukunya di film, maka saya tetap akan membandingkan keduanya. Di versi buku, bagi saya kisah KMGP selesai ketika mas Gagah meninggal sebagaimana cerita awal yang ditulis Helvy Tiana Rosa tahun 1992. Lalu di tahun 1997, ada tokoh Yudi (Lelaki Tak Bernama) sebagai episode bersambung KMGP yang dalam edisi buku dibuat judul Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali, saya nilai tidak cukup menarik dibanding kisah pertama. Bahkan cendrung membosankan. Tetapi, harus saya akui saya jadi terkesima saat di film ternyata bagian kisah kedua justru menyatu di kisah pertama. Penggabunggan itu menjadi jalinan kisah yang utuh dan menarik.
Tapi semoga itu hanya kekhawatiran sebab anak-anak Indonesia adalah penonton yang cerdas. Selain kekhawatiran tersebut, film KMGP yang sepertinya ‘dipaksa’ bersambung juga sedikit membawa kekecewaan bagi penonton. Pada part 1, film baru berupa pengantar cerita menuju puncak konflik lalu ditutup begitu saja hanya dengan tulisan KMGP 2 coming soon. Rasanya saya mau bilang, “ini saya beli tiket lagi, langsung putar KMGP 2 ya.” Namun saya juga berusaha memahami pertimbangan tersendiri pembuat kebijakan hingga memutuskan untuk membuat part 2.
Di versi buku memang KMGP menggunakan sudut pandang Gita, sebagai adik, yang mengisahkan sosok kakaknya. Jadi wajar jika di film, aksi tomboy Aquino Umar paling banyak disorot. Dan kabar bagusnya eksplorasi peran Noy sebagai Gita Ayu Pratiwi luar biasa sukses. Sebagai pendatang baru, Noy berhasil menguras emosi penonton. Salut untuk dek manis! Untuk acting 3 pemain utama lainnya Hamas Syahid, Masaji serta Izzah Azrina (belum tampil di KMGP 1) lumayanlah.
Namun, ada bagian yang bagi saya menganggu yakni simbolitas hijrah Gagah. Simbol dibutuhkan sebagai penanda tapi tidak perlu berlebihan dan terkesan dipaksakan. Seperti jenggot yang bagi saya jadi terlihat lucu karena tampak tidak alami. Atau kostum koko yang selalu dikenakan pasca ‘berubah’. Bukankah meski telah hijrah, pilihan kostum bisa apa saja selama sesuai syariat. Tentu ini tidak termasuk simbol yang bersifat wajib seperti jilbab bagi perempuan.
Tentang sinematografi, tata musik, serta latar tidak perlu dikomentari lagi, keren! Angle kamera di pinggiran Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan kekumuhannya sebagai daerah ‘Texas’ serta batu Angus dan pulau Hiri Ternate (walau baru sekilas) dengan keindahan alam bawah lautnya menjadi latar ‘cantik’ sekelas film-film terbaik Indonesia.
Tiga hari lalu, saya dapat kiriman gambar di WhatsApp dari teman. 10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton yang ternyata di urutan pertama ada Ketika Mas Gagah Pergi the Movie dengan julmah 112.022. Meski belum hasil final, semoga menjadi indikasi awal bahwa KMGP diterima antusias pasar perfilman Indonesia. Setidaknya saya ikut merasakan berdesakan saat menonton di hari dan jam perdana tayang. Sekilas info bahwa di Cinemaxx Palembang Icon saat kami nonton, dua cinema di jam yang sama full penonton, 400 orang.