Mohon tunggu...
Umi Laila Sari
Umi Laila Sari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan dan Radikalisme Agama di Indonesia

20 April 2015   22:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meski beberapa hari ini pemberitaan tentang ISIS (Islamic State Iraq and Suriah) tidak seramai sebelumnya, bukan berarti semua sudah berakhir. Justru dampak psikologis masyarakat dari fenomena ISIS semakin berkembang. Tidak sedikit orang tua yang secara tegas akhirnya melarang anak mereka mengikuti berbagai kegiatan yang bernuasa keagamaan. Nanti terlibat ISIS, demikian alasannya. ISIS menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Padahal jika melihat namanya, tertera kata ‘Islamic’ harusnya memberi kesan menyejukkan. Seperti istilah Al-Qur’an yang menyatakan Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Sangat bertolak belakang, ISIS justru menampilkan semua kekerasan dengan mengatasnamakan ajaran agama. Terlepas dari apa dan bagaimana sebenarnya ISIS, tindakan yang dilakukannya telah masuk kategori radikalisme agama. Sebuah aliran atau faham keagamaan dengan fanatisme keagamaan yang tinggi sehingga penganut aliran tersebut mengaktualisasikan keyakinannya dengan segala cara termasuk dengan kekerasan. Ketika tindakan kekerasan terjadi tentu akan mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar. Pada skala yang lebih besar, mengganggu kestabilan sosial dan keamanan bangsa.

Beberapa kasus penangkapan pelaku yang diduga tergabung dalam ISIS adalah sosok dengan atribut agama dan atau dikenal lingkungan sekitarnya sebagai orang yang taat beragama. Maka kesimpulan yang ambil masyarakat kebanyakan adalah semakin taat orang dalam beragama akan berpeluang besar melakukan radikalisme keagamaan. Lalu solusinya jangan terlalu fanatik dalam beragama. Jangan terlalu serius ketika belajar agama. Jangan dekat-dekat dengan para aktifis dakwah. Beragama hanya sekedarnya saja.

Kesimpulan tersebut akhirnya menjadi dogma. Dampak psikologis dari radikalisme keagamaan yang sungguh sangat menyedihkan. Selain semakian menjauhkan masyarakat terhadap ajaran agama juga menjadi penyesatan opini terhadap kebenaran ajaran agama. Maka ketika ada orang atau sekelompok orang keluar dari dogma yang ada butuh perjuangan yang tidak mudah. Terlebih mengkampanyekan kepada publik tentang kesejatian ajaran agama.

Tidak ingin membandingkan, hanya mungkin begitulah dilema yang dihadapi oleh seorang pejuang perempuan RA Kartini. Ketika lingkungannya memiliki pandangan bahwa kodrat perempuan hanya urusan domestik. Sementara Kartini berjuang mengajak kaumnya untuk keluar dari dogma tersebut. Beda zaman juga beda tantangan. Meski masih ada perempuan yang termarginalisasi khususnya di daerah pedalaman. Namun secara umum, perempuan sudah memiliki peluang yang luas untuk berkarya di bidang apapun. Perempuan Indonesia telah berkiprah di banyak sektor publik. Berprestasi dan bekerjasma dengan para laki-laki tanpa ada perbedaan. Kecuali pada hal-hal yang secara kodrati memang melekat pada perempuam seperti hamil, melahirkan serta menyusui.

Dengan demikian, apakah kita dapat menyatakan bahwa perjuangan RA Kartini telah selesai? Apa yang menjadi tujuan perjuangannya telah tercapai? Secara tekstual mungkin iya. Tapi secara kontekstual, saya pikir belum.

Seperti di awal saya ungkapkan, ada dogma yang salah tengah melanda mayoritas masyarakat Indonesia tetang radikalisme keagamaan. Dan ini adalah bagian dari penyalahartian makna yang menyebabkan kemunduran intelektual masyarakat. Artinya habis gelap terbitlah terang yang dicitakan RA Kartini belum sepenuhnya 'terang'. Ada peran strategis perempuan untuk menjadikan 'terang' tersebut kian gemilang. Melalui posisinya baik sebagai istri maupun ibu dalam satuan terkecil di masyarakat yakni keluarga.

Dalam keluarga, perempuan sebagai ibu dalam bahasa agama disebut sebagai madrasatul ula, lembaga pendidikan awal bagi anak-anaknya. Atau sebagai pendamping, tempat berbagi pemikiran bagi suaminya. Nah dengan posisi tersebut, perempuan dapat melakukan tindakan preventif adanya radikalisme keagamaan. Pengajaran dan pengamalan ajaran agama dengan pemahaman yang benar adalah benteng kesalahan aktualisasi nilai agama. Kalaupun ada pemikiran keagamaan dari luar yang dinilai mulai menyimpang, maka akan lebih efektif diatasi bila penanaman ajaran agama dari keluarga telah kokoh. Sebelum anggota keluarga melakukan tindakan radikal hingga merugikan banyak orang, harusnya keluarga telah lebih dahulu menyelesaikannya.

Selain peran perempuan dengan pendidikan agama yang baik dan benar juga pola komunikasi yang terbuka dan efektif. Sehingga anggota keluarga merasa memiliki rasa nyaman dan kepercayaan untuk menceritakan apapun yang tengah dihadapinya. Salah satu sebab seseorang terlibat tindakan radikalisme keagamaan adalah pengaruh teman. Melalui ikatan pertemanan bisa masuk berbagai doktrin menyesatkan.

Untuk tidak semakin membenarkan radikalisme keagamaan, saatnya perempuan membuktikan keberadaanya. Kembali ke keluarga dengan banyak ilmu dan pengajaran yang telah di dapat di luar sana, di bangku sekolah atau universitas. Bukankah itu juga bagian dari tujuan pendidikan bagi perempuan. Agar perempuan dapat melakukan pengajaran yang terbaik bagi anak-anaknya khususnya pengajaran agama.

Seperti surat yang ditulis RA Kartini. “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap dalam melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Maka, perjuangan RA Kartini hingga hari ini belum usai. Kita perempuan Indonesia selalu punya tantangan agar kehidupan kaum perempuan sebagai pilar peradaban terus tercerahkan. Dan dalam kontek kekinian, radikalisme agama menjadi satu diantara tantangan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun