Pasar-pasar rakyat di hampir seluruh pelosok tanah air kini kian terancam punah. Selain akibat kian gencarnya pasar-pasar modern berekspansi hingga ke pedesaan berkat hembusan “angin segar” dari pemerintah, juga karena absennya perhatian para perencana pembangunan terhadap pasar-pasar yang menjadi “nadi” rakyat itu. Salah satu buktinya, isyu tentang pasar rakyat atau pasar tradisional tak pernah disebut sepatah kata pun dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025.
Tanda-tanda “kematian” pasar rakyat – yang sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan bernama pasar tradisional – telah lama menyeruak. Hasil riset AC Nielsen tahun 2013 – yang juga dibeberkan di Harian Kompas – menunjukkan, jumlah pasar rakyat di Indonesia merosot rata-rata 8,1 persen, yakni dari 13.550 menjadi hanya 13.450 dalam periode 2007-2009, lalu anjlok lagi menjadi 9.950 pada tahun 2011.
Sementara itu, jumlah pasar swalayan – yang dulu bernama pasar modern – meroket sebesar 38 persen, yaitu dari 11.927 menjadi 16.922 hanya dalam setahun (2009-2010). Dalam kurun waktu ini, pangsa (share) pasar rakyat menyusut dari 80 persen ke 70 persen bersama melonjaknya pangsa pasar swalayan dari 20 persen menjadi 30 persen.
Ekspansi pasar-pasar swalayan secara kasat mata membuat pasar-pasar rakyat di sekitarnya sepi pengunjung. Ini jelas merupakan ancaman serius bagi lebih dari 26 juta pedagang kecil yang menggantungkan nasibnya pada pasar-pasar rakyat di negeri ini.
Namun, persoalan pasar rakyat itu bukan hanya menyangkut masalah ekonomi. Seperti yang telah dibuktikan oleh banyak penelitian sejauh ini, kelangsungan hidup pasar-pasar rakyat terkait erat dengan identitas budaya-budaya lokal serta pelestariannya.
Bahkan belakangan ini para politisi – mulai dari tingkat lokal hingga nasional – semakin getol menjadikan pasar-pasar rakyat sebagai salah satu sasaran penting dari kampanyenya guna merebut hati rakyat. Karena mereka amat yakin, pasar rakyat bukan hanya “nadi ekonomi”, melainkan juga “lubuk emosi” rakyat yang terdalam.
SARANA EKONOMI & BUDAYA
Dari segi ekonomi, resiliensi pasar tradisional memang amat mencengangkan. Paling tidak, ini telah terbukti dalam tiga kali krisis ekonomi terparah yang menghantam Indonesia selama ini, yakni di awal rezim Orde Baru sekitar tahun 1966, di awal era reformasi tahun 1997-1998, dan terakhir pada krisis ekonomi global tahun 2008 di mana hampir semua lembaga bisnis dan ekonomi dunia – termasuk di Benua Amerika dan Eropa – babak belur.
Ajaibnya, dalam semua insiden krisis ekonomi selama ini, pasar tradisional ternyata tetap tegar, bahkan mampu berperan optimal dalam memperkuat resiliensi ekonomi rakyat di tingkat lokal yang berkontribusi amat signifikan terhadap ketahanan ekonomi nasional.
Salah satu fakta mencengangkan tentang pasar rakyat di Indonesia ialah daya cakupnya (coverage) yang sangat akomodatif – bukan hanya terhadap rakyat kecil – melainkan juga terhadap rakyat terkecil baik selaku pedagang maupun pembeli.
Seperti yang antara lain terungkap dari hasil riset tahun 2010 hingga 2011 oleh Bangun Rakyat Sejahtera (BRS), lembaga swadaya masyarakat yang giat membantu kaum perempuan dan gadis-gadis miskin, ternyata masih ada sejumlah pedagang di pasar-pasar rakyat di Pulau Jawa, Sumatra, dan Sulawesi yang pedagangnya hanya bermodal antara Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu, antara lain pedagang sayur (kangkung, daun singkong, dan sebagainya), permen gula merah, kantong plastik, akua gelas, dan lain-lain. Aktivitas bisnis gurem semacam ini mustahil ada di pasar-pasar swalayan di mana pun.