Di desaku, musim hajatan pernikahan biasanya adalah di bulan-bulan lebaran idul fitri dan idul adha. Kalau dimusim itu, undangan hajatan pernikahan sangat banyak, bisa 5-6 undangan setiap minggunya. Memang di desa tempat tinggalku sekarang ini, masih menjadi kebiasaan pernikahan di usia dini. Rata-rata remaja usia 16-18 adalah yang terbanyak menikah. Jadi kalau musim hajatan tiba, di setiap jalan, gang, dan gedung pertemuan, pasti rame janur kuning.
Dari sekian banyak pernikahan tersebut, ada beberapa yang terjadi karena sang remaja wanita telah hamil duluan. Dua kasus diantaranya adalah tetangga samping dan depan rumahku sendiri. Tetangga depan, anakknya remaja laki-laki masih berusia 18 tahun, belum bekerja, tamat sma, sukanya main bola saja, telah menghamili pacarnya yang juga masih remaja usia 16 tahun. Jadilah akhirnya orangtua kedua remaja sepakat menikahkan mereka.
Tetangga samping rumah, adiknya perempuan baru selesai sma, kerja sebagai kasir sebuah minimarket, telah hamil 3 bulan sebelum menikah dengan pacarnya seorang mahasiswa. Dan 1 bulan kemarin mereka akhirnya telah dikaruniai seorang putri cantik.
Ada yang menarik menurut saya, tentang ibu-ibu tetangga yang ternyata tidak heboh dan tidak nyinyir terhadap kasus hamil diluar nikah ini. Walaupun saya tau, kedua tetangga saya ini merasa tidak enak hati (malu) ketika anaknya diketahui umum telah hamil diluar nikah, tetapi mereka sedikit lega karena tidak ada satupun tetangga yang nyindir-nyindir, nyinyir-nyinyir,apalagi marah-marah. Bahkan tetangga memperlakukan hajatan mereka ini sama seperti hajatan-hatajan lainnya. Tetangga tetap memberi bantuan tenaga, pikiran dan apa saja yang dibutuhkan. Adem kan ya?
Memang, tak ada yang suka jika kita terjebak pada suatu kondisi yang tak baik menurut budaya maupun agama. Persoalan malu atau tidak malu, adalah pilihan. Setiap orang berhak untuk memilih malu atu tidak malu. Jangan terlalu diperdebatkan. Yang terpenting adalah bagaimana sikap kita jika kita berada pada posisi mereka. Bagaimana pula sikap kita jika kita berhadapan dengan mereka.
Jika kita bersikap malu, adalah baik. Namun jikapun tidak malu, bukan untuk diolok-olok. Yang terpenting, adalah sikap mencari solusi terbaik bagi pasangan yang mengalami hamil diluar nikah tersebut. Bagi yang setuju menikah, tentu membahagiakan. Namun yang tidak setuju untuk dinikahkan, bukan juga untuk dihina. Sang jabang bayi adalah calon manusia, maka dia juga berhak diperlakukan semestinya manusia.
Saya sendiri banyak belajar dari orang-orang desa nan sederhana ini. Kalau dulu saya memandang jijik jika berhadapan dengan yang hamil diluar nikah, maka sekarang tidak lagi. Jika dulu suka sekali ngegosipin kasus-kasus seperti ini, maka sekarang tidak lagi. Jika dulu, minimal hati saya tidak menerima, maka sekarang sudah sangat adem. inilah proses hidup. indah nian hidup nan damai ini.
Saya bangga sama ibu-ibu yang tidak nyinyir ini, karena mereka minimal tidak menambah beban bagi keluarga yang sedang bermasalah. Semoga siapa saja yang sedang mengalami kasus hamil diluar nikah, dapat menemukan kemudahan , dan kebahagiaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Ya sudah, begitu saja. Salam dari desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H