Menyalakan Lilin di Tengah Gelap
Di sebuah kota kecil yang berada di kaki gunung, berdiri sebuah perguruan tinggi bernama Akademi Pelita Bangsa. Akademi ini tak besar, hanya memiliki tiga gedung utama yang sudah mulai menua. Namun, di sana ada seorang dosen yang namanya selalu dikenang oleh mahasiswanya, yaitu Pak Arman.
Pak Arman adalah dosen Fisika yang telah mengajar selama lebih dari 25 tahun. Sosoknya sederhana: kemeja putih lusuh yang selalu dikenakan, sepatu hitam yang sedikit mengelupas di ujungnya, dan senyuman lembut yang selalu menghiasi wajahnya. Meski tampak biasa saja, ada satu hal yang luar biasa darinya: dedikasinya kepada pendidikan dan mahasiswanya.
Pak Arman hidup sederhana. Ia tinggal di rumah kontrakan kecil bersama istrinya, Bu Murni, yang menjual kue untuk membantu perekonomian keluarga. Penghasilannya sebagai dosen honorer jauh dari cukup, tetapi ia tidak pernah mengeluh.
Awal Perjuangan
Hari itu adalah awal semester baru. Pak Arman memasuki ruang kuliah dengan langkah ringan, membawa segepok kertas dan beberapa buku tebal yang telah usang. Di depan kelas, ia menatap para mahasiswanya dengan senyum hangat.
"Selamat pagi, anak-anak," sapanya.
"Selamat pagi, Pak!" jawab mereka serentak.
Pak Arman mulai mengajar dengan semangat seperti biasanya, menjelaskan konsep-konsep rumit Fisika dengan cara yang sederhana dan penuh cerita. Ia sering menggunakan benda-benda di sekitar sebagai alat bantu, mulai dari penghapus, gelas plastik, hingga tutup botol.
Namun, ia menyadari ada satu mahasiswa yang tampak gelisah di sudut kelas. Namanya Rio, seorang anak dari keluarga petani yang sering terlihat murung dan kurang percaya diri. Pak Arman tidak langsung bertanya hari itu, tetapi ia menyimpan perhatian khusus untuk Rio.
Setelah kelas selesai, Pak Arman mendekati Rio yang sedang berkemas.
"Rio, ada waktu sebentar? Saya ingin bicara," ujar Pak Arman lembut.
Rio mengangguk pelan. Mereka duduk di bangku belakang kelas.
"Pak lihat kamu sering melamun. Ada yang bisa Pak Arman bantu?" tanyanya.
Rio terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara lirih, "Saya bingung, Pak. Ayah saya sakit, dan saya harus membantu di ladang. Uang kuliah pun belum saya bayar."
Pak Arman mengangguk dengan penuh pengertian. Ia tahu betapa sulitnya perjuangan mahasiswa seperti Rio untuk bertahan di bangku kuliah.
"Rio, pendidikan itu seperti investasi jangka panjang. Kamu harus percaya bahwa apa yang kamu pelajari hari ini akan membantumu dan keluargamu di masa depan. Kalau kamu kesulitan biaya, ayo kita cari jalan keluar bersama."
Sejak hari itu, Pak Arman mulai membantu Rio. Ia menghubungi pihak kampus untuk mengajukan beasiswa bagi Rio, dan diam-diam menyisihkan sebagian kecil gajinya untuk membantu kebutuhan sehari-hari Rio.
Ujian Kehidupan
Namun, cobaan besar datang di tengah semester. Istri Pak Arman, Bu Murni, didiagnosis menderita kanker stadium awal. Pak Arman hampir kehilangan semangat, tetapi ia memilih untuk tidak menunjukkan kesedihannya di depan mahasiswanya.
Setiap pagi, setelah mengantar istrinya ke rumah sakit untuk kemoterapi, ia tetap datang ke kampus dengan senyum yang sama. Ia masih berdiri di depan kelas, memberikan pelajaran terbaik untuk mahasiswanya.
Mahasiswa-mahasiswanya mulai menyadari kelelahan yang tampak di wajah Pak Arman. Beberapa dari mereka mencoba menggalang dana untuk membantu pengobatan istrinya, tetapi Pak Arman menolaknya dengan halus.
"Terima kasih atas perhatian kalian. Tapi, tugas utama kalian adalah belajar. Itu sudah cukup untuk saya," katanya sambil tersenyum.
Namun, tanpa sepengetahuan Pak Arman, para mahasiswa terus berusaha. Mereka menjual makanan, mengadakan pertunjukan seni kecil-kecilan, dan mengumpulkan uang dari alumni. Dalam waktu dua bulan, mereka berhasil mengumpulkan cukup dana untuk membantu biaya pengobatan Bu Murni.
Ketika mereka menyerahkan hasil penggalangan dana itu kepada Pak Arman, ia tidak dapat menahan air matanya.
"Kalian luar biasa. Saya tidak pernah meminta ini, tetapi kalian melakukannya. Terima kasih, anak-anak. Kalian adalah alasan saya terus bertahan," katanya dengan suara bergetar.
Cahaya di Tengah Kegelapan
Waktu berlalu, dan Bu Murni perlahan mulai pulih. Meski demikian, ujian lain datang: kampus menghadapi masalah keuangan yang serius. Gaji dosen honorer, termasuk Pak Arman, semakin terlambat dibayarkan. Beberapa dosen memilih untuk berhenti, tetapi Pak Arman tetap bertahan.
Ia mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Ia menawarkan les privat gratis kepada mahasiswanya yang kesulitan memahami materi. Ia juga menghabiskan waktu di malam hari menulis buku panduan belajar Fisika sederhana, berharap buku itu bisa diterbitkan dan membantu lebih banyak orang.
Di tengah kesulitan itu, Rio memberikan kabar baik. Ia berhasil memenangkan lomba karya ilmiah nasional dengan bimbingan Pak Arman. Tidak hanya itu, Rio juga mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan studinya ke luar negeri.
"Ini semua berkat Bapak," kata Rio saat berpamitan.
Pak Arman hanya tersenyum. "Tidak, Rio. Ini berkat kerja kerasmu. Saya hanya menyalakan lilin kecil di tengah gelap. Kamu yang membuatnya menyala terang."
Hari Guru yang Tak Terlupakan
Pada suatu pagi, tepat di Hari Guru, Pak Arman memasuki ruang kuliah seperti biasa. Namun, ia terkejut melihat ruangan itu penuh dengan mahasiswa, alumni, dan dosen lain. Di dinding terpampang tulisan besar: "Terima Kasih, Pak Arman."
Seorang alumni maju ke depan, membawa sebuah kotak kecil. "Pak, ini adalah penghargaan kecil dari kami. Tidak ada yang bisa menggantikan jasa Bapak, tetapi kami ingin Bapak tahu bahwa kami semua menghargai setiap perjuangan yang Bapak lakukan."
Pak Arman membuka kotak itu. Isinya adalah sebuah plakat bertuliskan: "Untuk Pak Arman, yang menginspirasi ribuan mimpi."
Ia tidak mampu berkata-kata. Air matanya mengalir deras. Di hadapan semua orang, ia merasa perjuangannya selama ini tidak sia-sia.
"Saya hanya seorang guru biasa," katanya dengan suara bergetar. "Tapi, kalau apa yang saya lakukan bisa membantu kalian mencapai mimpi kalian, itu adalah kebahagiaan terbesar saya."
Sorak sorai dan tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Pada hari itu, semua orang di Akademi Pelita Bangsa menyadari satu hal: pendidikan bukan hanya tentang ilmu, tetapi juga tentang cinta, dedikasi, dan keberanian untuk terus berjuang, seperti yang telah ditunjukkan oleh Pak Arman.
Cerpen ini untuk mengenang semua guru dan dosen yang telah menjadi cahaya dalam hidup kita. Selamat Hari Guru. Terima kasih atas semua perjuangan dan cinta yang telah kalian berikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H