"Terima kasih atas perhatian kalian. Tapi, tugas utama kalian adalah belajar. Itu sudah cukup untuk saya," katanya sambil tersenyum.
Namun, tanpa sepengetahuan Pak Arman, para mahasiswa terus berusaha. Mereka menjual makanan, mengadakan pertunjukan seni kecil-kecilan, dan mengumpulkan uang dari alumni. Dalam waktu dua bulan, mereka berhasil mengumpulkan cukup dana untuk membantu biaya pengobatan Bu Murni.
Ketika mereka menyerahkan hasil penggalangan dana itu kepada Pak Arman, ia tidak dapat menahan air matanya.
"Kalian luar biasa. Saya tidak pernah meminta ini, tetapi kalian melakukannya. Terima kasih, anak-anak. Kalian adalah alasan saya terus bertahan," katanya dengan suara bergetar.
Cahaya di Tengah Kegelapan
Waktu berlalu, dan Bu Murni perlahan mulai pulih. Meski demikian, ujian lain datang: kampus menghadapi masalah keuangan yang serius. Gaji dosen honorer, termasuk Pak Arman, semakin terlambat dibayarkan. Beberapa dosen memilih untuk berhenti, tetapi Pak Arman tetap bertahan.
Ia mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Ia menawarkan les privat gratis kepada mahasiswanya yang kesulitan memahami materi. Ia juga menghabiskan waktu di malam hari menulis buku panduan belajar Fisika sederhana, berharap buku itu bisa diterbitkan dan membantu lebih banyak orang.
Di tengah kesulitan itu, Rio memberikan kabar baik. Ia berhasil memenangkan lomba karya ilmiah nasional dengan bimbingan Pak Arman. Tidak hanya itu, Rio juga mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan studinya ke luar negeri.
"Ini semua berkat Bapak," kata Rio saat berpamitan.
Pak Arman hanya tersenyum. "Tidak, Rio. Ini berkat kerja kerasmu. Saya hanya menyalakan lilin kecil di tengah gelap. Kamu yang membuatnya menyala terang."
Hari Guru yang Tak Terlupakan