"Rio, ada waktu sebentar? Saya ingin bicara," ujar Pak Arman lembut.
Rio mengangguk pelan. Mereka duduk di bangku belakang kelas.
"Pak lihat kamu sering melamun. Ada yang bisa Pak Arman bantu?" tanyanya.
Rio terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara lirih, "Saya bingung, Pak. Ayah saya sakit, dan saya harus membantu di ladang. Uang kuliah pun belum saya bayar."
Pak Arman mengangguk dengan penuh pengertian. Ia tahu betapa sulitnya perjuangan mahasiswa seperti Rio untuk bertahan di bangku kuliah.
"Rio, pendidikan itu seperti investasi jangka panjang. Kamu harus percaya bahwa apa yang kamu pelajari hari ini akan membantumu dan keluargamu di masa depan. Kalau kamu kesulitan biaya, ayo kita cari jalan keluar bersama."
Sejak hari itu, Pak Arman mulai membantu Rio. Ia menghubungi pihak kampus untuk mengajukan beasiswa bagi Rio, dan diam-diam menyisihkan sebagian kecil gajinya untuk membantu kebutuhan sehari-hari Rio.
Ujian Kehidupan
Namun, cobaan besar datang di tengah semester. Istri Pak Arman, Bu Murni, didiagnosis menderita kanker stadium awal. Pak Arman hampir kehilangan semangat, tetapi ia memilih untuk tidak menunjukkan kesedihannya di depan mahasiswanya.
Setiap pagi, setelah mengantar istrinya ke rumah sakit untuk kemoterapi, ia tetap datang ke kampus dengan senyum yang sama. Ia masih berdiri di depan kelas, memberikan pelajaran terbaik untuk mahasiswanya.
Mahasiswa-mahasiswanya mulai menyadari kelelahan yang tampak di wajah Pak Arman. Beberapa dari mereka mencoba menggalang dana untuk membantu pengobatan istrinya, tetapi Pak Arman menolaknya dengan halus.