Selama dua jam terkurung dalam sangkar burung besi. Dari Manado ke Surabaya sebenarnya tidaklah lama. Tetapi akan lebih asyik kalau ada teman berbincang. Begitu pikir Christ. Salah satu laki-laki Indo dalam burung besi itu.Â
Sayangnya, perempuan di sebelah kanannya  yang duduk di dekat jendela. Lebih suka menenggelamkan dirinya dalam buku. Ia mencuri pandang ke rambutnya. Panjang, hitam lurus tergerai. Riasan wajahnya tipis sederhana. Anggun dengan blus berlengan panjang.Langsing tetapi jangkung untuk ukuran gadis Indonesia. Sungguh menarik.Â
Apa mungkin  dia mengira, aku bule yang  tak pandai berbahasa Indonesia?  Padahal Mamaku Jawa tapi Papaku Belanda. Dan Indonesia adalah tanah airku yang kedua.Di setiap liburan september, selalu kuhabiskan di sini. Gerutu Christ dalam hati.
Sebelum pesawat mendarat, terbersit niat Christ harus berhasil memikatnya. Tentunya dengan cara yang elegan. Hemm. . . kapan lagi. Ayo. ..mulai pasang strategi. Di benaknya berkelindan ide yang setengah gila.Â
"Assyik benar membacanya, Mbak, " bibir usilnya mulai menggoda.Â
Gadis itu mendongak, melempar pandang ke mata abu-abu di sampingnya.Duuuh. . Nyaris copot jantung Christ. Maniis nian senyumnya. Tatapan mata coklatnya lembut menghanyutkan.Mendebarkan.
Christ mengulurkan tangannya  memperkenalkan diri, "ChristIan, " ucapnya mantap.
"Septin, " lirih suaranya. Tapi sungguh merdu tertangkap oleh pendengaran Christ .
Mereka berbincang seru setelahnya. Septin teman ngobrol yang asyik. Gadis manis dari kota dingin Malang. Kasir di sebuah kafe. Di sela waktunya gemar menulis. Wuuiih. .benar-benar makhluk ciptaan Tuhan yang menakjubkan. Puji Christ.Â
Waktu jualah yang akhirnya menghentikan keasyikan keduanya.Ketika Lion Air mengusir halus semua penumpangnya di Juanda. Dan pertemanan akan disambung di dunia maya, kata Christ, setelah saling bertukar nomor ponsel.Â
Sekali lagi, hanya dengan senyum manisnya, Septin mengangguk. Duuuh. . . hati Christ berdesir, tersihir oleh pesona indah teman seperjalanan.