Â
Umi Setyowati. No.15.Â
Hari minggu itu, aku mengajak si bungsu anakku yang baru masuk sekolah TK klas Nol kecil. Belanja ke pasar.Â
Ketika mau pulang, belanjaan sudah kunaikkan di atas becak, tetiba dia menarik tanganku, menahanku untuk naik becak. Tangannya menunjuk ke arah penjual ayam.Â
Seorang bapak tua, membawa ayam kecil -kecil berwarna -warni, dalam keranjang yang diletakkan di boncengan sepedahnya.Â
"Buk, Restu mau dibelikan ayam itu! " pintanya.Â
Waduuh. . . pikirku, aku ingat, selama ini kami memelihara ayam, tidak pernah berhasil. Selalu saja hilang tak kembali ke kandang, kalau dilepaskan di pekarangan belakang rumah. Kata orang tua, kami gak waris memelihara ayam.Â
Ya sudahlah, demi tak membuat si bungsu menangis di pasar. Kubelilah ayam -ayam itu. Dia minta dibelikan 10 ekor dan harus yang berwarna merah semuanya. hikz. Itu warna favoritnya.Â
Semakin hari, ayam-ayam itu semakin besar. Hingga kandangnya tidak muat lagi. Terpaksa kami lepas di pekarangan belakang rumah. Berbaur dengan ayam-ayam kampung tetangga. Dengan begitu, kami tak perlu membeli pakan atau sentrat.Â
Aneh bin ajaib. Ayam-ayam itu tumbuh besar dan semakin besar, utuh 10 ekor. Tak berkurang satupun. Tidak seperti nasib peliharaan kami sebelumnya yang selalu menghilang tak berbekas. Itu berarti si bungsu termasuk waris, memelihara ternak ayam. he he he.Â
Naah. . . suatu hari, di rumahku, giliran di tempati ibu -ibu pengajian. Untuk itu tentu aku harus menyiapkan menu masakan. Seperti itulah yang rutin berjalan. Satu minggu sekali bergiliran.Â