Lebaran bagi perantau adalah mudik. Â
Dari sejak aku sekolah di luar kota, lebaran bagiku adalah mudik. Bukan lebaran artinya kalau tidak mudik.Â
Semasa masih sekolah dan kuliah, hal itu tak menjadi masalah. Kemana lagi kalau tidak mudik pas lebaran.Â
Tetapi ketika jarak perantauanku semakin jauh. Ke pulau seberang, karena ikut suami. Mudik saat lebaran menjadi hal yang mustahil. Dalam kondisi ekonomi keluarga yang masih pas - pasan.Â
Jarak dari Sumatera Selatan ke ujung timur pulau Jawa, membutuhkan rupiah yang sangat banyak. Pun waktu yang tak cukup satu minggu PP.Â
Saat itu, alat komunikasi yang umum adalah lewat surat. Kartu pos, juga kartu lebaran.Â
Jadi satu minggu sebelum lebaran, aku mengirim beberapa kartu lebaran. Kepada Ibu, Bapak, adikku, saudaraku dan teman -temanku yang akrab.Â
Setelah lebaran, dan kantor pos mulai buka kembali, kuterima balasan dari kartu yang kukirim.Â
Yang paling cepat membalas adalah Bapak. Di akhir kalimatnya, bapak selalu menulis. "Bapak mengerti "
Lima tahun kemudian, kami, aku, suami dan anak - anakku. Belum juga bisa mudik ke Jawa. Karena ongkos yang dibutuhkan semakin banyak, dengan mengajak anak-anak tentunya.Â
Saat itu komunikasi telepon sudah tersedia. Di rumah Bapak sudah pasang telepon. Walaupun aku menelepon Bapak dari wartel, setidaknya tak perlu lagi mengirim kartu lebaran, untuk mengucapkan selamat hari raya dan memohon maaf.Â