Bangunan sekolah itu bentuknya memanjang ke samping. Dilengkapi sederet ruangan berkaca di bagian depan sebagai kantor. Rindang pepohonan berbaris di halaman, meneduhkan.Tanaman dalam pot di depan ruangan kelas tampak sedap di pandang mata. Pagar besi tinggi yang berbatasan dengan jalan raya, mengesankan sebagai gedung sekolahan yang megah.Â
Bersama mbak Kustina aku tinggal di perumahan itu. Dia lulusan SPG, kuliahnya sudah  tingkat akhiri di IKIP PGRI, salah satu mahasiswa bapak, tapi sudah hampir dua tahun diangkat menjadi PNS. Dari gajinya itulah dia membiayai kuliahnya sendiri.Â
Sebenarnya akupun sudah pernah juga ikut tes CPNS dari Depag, tapi gak lulus. Belum nasibku mungkin. Atau mungkin karena niatku yang setengah -setengah, tak sepenuhnya ingin jadi guru. Waktu itu aku mengajar, untuk mencukupi kebutuhanku sendiri, jatah bulanan tetap diberi oleh bapak.Â
Dan lagi, kubayangkan seandainya lulus tes, trus ditugaskan di luar daerah entah di mana, waah. . tambah kacau kelanjutan kuliahku nanti. Begitu yang ada dalam pikiran bodohku saat itu. Gak penting banget jadi PNS. Pentingku harus selesai kuliah.
***
Menjelang Tahun Ajaran Baru, ada beberapa ruang kelas yang direnovasi. Di sinilah awal mula aku mengenal Hans, pengawas para pekerja itu. Kami sering bertemu di kantin saat makan siang. Dia berasal dari Lampung, sudah sepuluh tahun malang melintang di Surabaya katanya. Mengerjakan proyek kecil -kecilan bersama temannya.Â
Tiga bulan hingga proyek renovasi itu selesai, Hans semakin gencar mendekatiku. Padahal aku sering menghindar kalau dia datang malam minggu. Sengaja hari sabtu pulang mengajar,aku pulang ke rumah bu Dhe Tambak Segaran.Â
Jujur saja, aku tidak tertarik dengannya, tak ada getaran di hatiku ketika bersamanya, entah karena apa ya...kalau kuamati, wajahnya gak jelek banget sih. Mukanya tampak bersih rajin bercukur kumisnya, menyisakan jambang yang agak tebal di kanan kiri telinganya. Posturnya tinggi kecil, penampilannya selalu rapi dengan hem lengan pendek yang selalu dimasukkan, khas tampilan eksekutif muda.Â
Lama kelamaan aku merasa risih sekaligus kasihan, sudah sering kuhindari tapi masih datang juga. Di lain waktu, sengaja kutunggu kedatangannya malam minggu itu. Benar saja, dia datang lagi dan lagi. Maka. ..kuberanikan diri untuk bertanya, aku orangnya tak suka basa - basi, apa yang kuucapkan , itulah kata hatiku, to the point aja kulontar tanya, " Hans, sebenarnya kau mau apa denganku?" tatapanku tajam menyelidik. Sesaat Hans gugup, mengalihkan pandangan ke batang rokoknya, yang tampak dihisap dan dihembuskan asapnya begitu saja.Â
" Aku ingin menikah denganmu! " jawabnya to the point juga, Â tapi agak grogi kulihat. Rokoknya masih setengah batang sudah diusek -usek di asbak.Â
Cukup lama aku termangu. Tak.kukira, hanya sependek itu kalimatnya. Saat itu mbak Kus sedang keluar. Kami duduk di ruang tamu sambil nonton tv.Tapi hanya mataku yang melihat layar tv, pikiran dan perasanku melayang -layang, mengembara tanpa arah. Sementara , Hans membuka -buka majalah yang dibawanya untukku. Tahu sekali dia, kalau aku suka membaca. Bisa jadi, itu caranya menyuapku  mengharap balas perhatianku.Â