Di atas pentas beberapa penari gandrung berlenggak- lenggok dengan gemulainya  mengikuti irama kendang. Penonton riuh sekali di depan pentas dan di sekeliling tenda.Â
"Kamu belum pernah menonton tari gandrung, kan Wul? " kulihat Wulan tak berkedip menikmati indahnya tarian yang penarinya tampak sangat cantik dan masih belia seumur kami.Â
"Belum, mbak Yow , aku suka sekali melihat tari - tarian itu, tapi kalau mau belajar menari, hihihi. . . kaku mungkin ya gerakanku? " Wulan bicaranya sambil agak mendekat, mungkin malu kalau di dengar oleh Lekku.Â
" Awalnya mungkin Wul, tapi kalau rutin dan rajin latihan terus, ya lama kelamaan lemas juga kan? "Â
"Hi hi hi, iya ya mbak. ehm. . .tari gandrung ini tarian khas  Banyuwangi ya mbak?, selain pas petik laut, acara apa yang hiburannya tari gandrung?"
" Iya, makanya Banyuwangi sering juga disebut kota gandrung, ibuku pernah bercerita begitu" sejenak aku berhenti untuk minum, sebelum kulanjutkan.Â
"Tari gandrung juga sering dianggap orang yang sedang hajatan Wul, Â perkawinan, khitanan, juga acara resmi di Pemkab, kalau agustusan juga "
" Ooh begitu ya, waah. . rame dong penontonnya, mba Yow! " semakin antusias Wulan, masih sambil menyaksikan pertunjukan di atas pentas.
"Ya iyalah, banget rame Wul, bisa jadi orang satu desa menonton, kalau ada orang hajatan nanggap gandrung, orang jualan juga rame, tapi mulainya malam jam 9.Wul, dan sampai subuh pagi baru bubar " tukasku.Â
"Haah? sampai pagi, mbak? " keheranan Wulan,Â
"Iya, sampai pagi, kata ibuku, jadi penari gandrung itu harus kuat fisiknya, ritualnya sebelum main tanggapan itu, juga ada puasanya, ya guru tarinya itulah yang membimbing " sebisaku ku copas apa yang pernah diceritakan oleh ibuku.Â