Mohon tunggu...
Umi Setyowati
Umi Setyowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu rumah tangga

Wiraswasta yang suka membaca dan menulis fiksi sesekali saja.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Asa yang Tersisa " ( 24 )

18 April 2016   04:57 Diperbarui: 18 April 2016   06:57 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

#tantangan100harimenulisnovelFC 

No. 84. Umi Setyowati 

Bab.V 

24 /

Sesuai janjiku kepada Wulan, aku akan mengajaknya menyaksikan atau menonton ritual petik laut di Muncar. Sebuah pantai di bagian ujung timur wilayah kabupaten Banyuwangi. 

Hari sabtu pagi itu, kami pergi berempat, aku, Wulan, Lek Syafhi yang kebetulan sedang libur juga di akhir pekan. Dia pun pulang mengajak seorang teman kerjanya. Sama seperti aku, bermaksud mengajak teman ke acara petik laut. Kebetulan yang menyenangkan. Dengan begitu kami bisa pergi bersama-sama. 

Berangkat dari rumah naik colt mini, tempat yang kami tuju adalah Tempat Pelelangan Ikan (TPI ) Muncar. Sampai di TPI, memang acara belum dimulai. Namun masyarakat dan warga nelayan terutama, telah penuh memadati area di sekitaran TPI. Orangtua dan anak-anaknya, pemuda pemudi apalagi. Karena ritual ini hanya diselenggarakan satu kali dalam setahun. 

Di depan TPI telah disiapkan sebuah pentas yang cukup besar,telah dipasang tenda terpal untuk menahan panasnya sengatan matahari. Kalau hujan misalnya, maka pawang hujannya sudah pula siap. 

Di depan pentas yang kira - kira setinggi 1 meter, disediakan kursi-kursi untuk para undangan. Para tamu penting dideretan terdepan adalah para pejabat setempat, pak lurah, pak camat serta stafnya, dan tentunya bapak kepala daerah atau pak bupati Banyuwangi. 

Di samping kanan dan kiri serta belakang dari tempat tersebut, masyarakat rela berdiri demi mengikuti jalannya upacara nanti, ya termasuk kami berempat, membaur berdesakan dengan yang lain, dibawah terik matahari siang itu. 

"Apa dulu acaranya yang kita tunggu ini mbak Yow " tanya Wulan, yang mungkin sudah mulai merasa kepanasan, berdiri di tepi jalan, berhimpitan dengan ratusan atau mungkin ribuan manusia. Semua sedang menunggu. 

"Kita sedang menunggu arak -arakan sesaji Wul, yang semalam sudah disiapkan oleh sesepuh nelayan. Sesaji itu berisi berbagai jenis hasil bumi dan yang ditata dengan indah dalam perahu kecil yang disebut githik. hehehe. .sabar ya. ." 

Sambil menunggu, kujelaskan juga kepada Wulan bahwa, pada malam hari sebelum pelaksanaan Petik Laut, di tempat perahu sesaji dipersiapkan, dilakukan tirakatan. Di beberapa surau atau rumah nelayan juga diadakan pengajian atau sema'an. 

Tak lama kemudian, dari kejauhan tampak iring -iringan yang kami tunggu. 

"Naaah. . itu Wul lihatlah !"kutunjukkan tanganku mengarah ke rombongan yang akan menuju TPI, tempat kami berdiri .

Semakin dekat dan semakin mendekat.Kami melihat sebuah perahu kecil atau githik yang ditandu oleh 4 orang nelayan berbadan kekar, Perahunya dihias dengan hiasan kertas yang berwarna -warni. Berbagai hasil bumi juga ditata dengan apik. Dan yang tak. boleh ketinggalan adalah kepala seekor kambing. 

Ratusan nelayan berjalan mengiringi perahu sesaji yang di tandu tersebut.Hingga sampai di TPI, kedatangannya disambut oleh 6 penari gandrung.Perlahan-lahan dan dengan sangat berhati-hati,perahu sesaji itu.diletakkan di atas pentas.Setelah penari gandrung selesai menarikan tarian selamat datang,acara akan dimulai.

Pertama -tama, acara pembukaan, kemudian sambutan pejabat wilayah setempat. Yang utama tentu kata sambutan pak bupati. Terakhir, do'a. 

"Nah..Wul, setelah acara basa -basi tadi selesai, habis ini acara intinya, benar kan Lek Syaf? "  berkata begitu, aku menengok ke Lekku, yang berdiri dengan temannya di belakang kami. 

"Hussstt. . . ngawur kamu Yow, pidato orang -orang penting kamu bilang basa -basi, huuu. ."mukaku di raupi tangannya, Wulan dan mas Aang teman lek Syaf, senyum - senyum melihatku keki. 

"Kita ke pantai duluan aja yuk, sebentar lagi kan perahu sesaji itu akan dilarung, supaya kita nanti bisa melihat dari dekat " ujar Lekku kemudian, dan mendahului berjalan di depan, menyibak diantara ramainya penonton petik laut. 

Benar saja, setelah kami dapat tempat berdiri agak dekat laut, iringan sesaji itu datang. 

Perahu sesaji diturunkan di pantai, di kelilingi oleh sesepuh nelayan dan warga yang hendak mengikuti larung sesaji. Sedangkan di tepian laut sudah stand bay berpuluh - puluh atau mungkin beratus perahu nelayan yang nampak indah dihias dengan kertas berwarna -warni. Para nelayan juga mengenakan busana atau pakaian adat. Celana panjang warna gelap, seikat sarung dililitkan di pinggang, berbaju hem warna putih dan ikat kepala khas atau disebut udheng. 

Sebelum diberangkatkan untuk dilarung, seorang kepala daerah atau Bupati, hukumnya wajib, memasang pancing emas di lidah kepala kambing.Karena seorang kepala daerah dianggap mewakili rakyatnya untuk memasangkan simbol permohonan berupa pancing emas agar nelayan diberi hasil ikan yang melimpah dalam setahun ke depan. 

Bersambung. 

Manado  18 April 2016. 

NB. 

Ritual Petik Laut akan dilanjut di bagian 25 

Trimakasih para sahabat yg telah mengikuti cerita saya. Anda semua adalah penyemangat saya untuk terus menulis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun