Mohon tunggu...
Mamas Dedek
Mamas Dedek Mohon Tunggu... -

Berusaha menjadi yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Indah pada Masanya

22 Januari 2015   00:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:39 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengajar dari tahun 2005,sebagai guru honor disalah satu sekolah negeri di tempat saya tinggal. Tahun 2009 saya diangkat menjadi abdi negara untuk ikut serta mendidik generasi bangsa disalah satu sekolah menengah tingkat pertama masih ditempat saya tinggal sekarang. Banyak dari siswa-siswi saya ketika ditanya apa tujuan mereka bersekolah, mereka akan terdiam dan berfikir lama untuk menjawabnya. Dari 4 kelas yg berjumlah 36-40 orang satu kelasnya, hanya 3 atau 4 orang yg punya tujuan belajar, selebihnya hanya tersenyum tanpa tujuan.

Kurangnya motivasi dirumah, dimana seharusnya orang tua memperhatikan kebutuhan psikologis anak, memberikan kata-kata yang dapat membuat anak-anak senang untuk belajar . Dan disekolah guru jarang memberikan suntikan kata-kata yang membuat anak-anak tergerak untuk meningkatkan semangat belajar, membuat anak-anak hanya mengikuti “arus” tanpa memiliki target atau tujuan masa depan.

Kurangnya minat dalam pembelajaran dapat terlihat ketika mereka begitu sulit mengeluarkan uang Rp.8000,00 untuk membeli LKS ataupun photocopy ringkasan materi. Mereka mengharapkan buku dari sekolah, yang sudah dipastikan tidak akan ada (khusus disekolah saya). Buku pelajaran disekolah tempat saya mengajar hanya tersedia 32 buku, ketika belajar satu bangku dapat satu buku, selesai belajar buku dikembalikan. Dana BOS yang ada apakah bisa memenuhi kebutuhan buku, dimana satu anak bisa membawa satu buku sampai kerumah(saya kurang paham aliran dana BOS untuk apa). Mereka kurang minat untuk membeli buku, karena beranggapan bahwa buku akan terus berganti tiap tahunnya dan buku yang telah mereka beli tidak akan bisa “diwariskan” atau dipakai oleh adiknya kelak.

Banyaknya materi yang harus mereka pelajari, sepertinya juga membebani mereka, kurangnya minat baca, kurangnya keinginan dalam memecahkan suatu masalah, dan timbul keengganan belajar ketika dihadapkan pada soal latihan yang sulit.

Apakah ini adalah kesalahan paket pendidikan yang dimuat dalam kurikulum pendidikan kita yang terus berganti? tidak bisakah kita mencontoh pendidikan diluar seperti Finlandia, Jepang yang dapat mendidik generasi tangguh berkarakter. Dimana materi tidak terlalu membebani siswa, anak usia PAUD dan TK tidak dibebankan dengan materi CALISTUNG, tetapi lebih pada pembentukan karakter, seperti; saling menghormati sesama, diajarkan mengantri ketika akan mengambil makanan, ke kamar kecil,dan lain sebagainya.Di daerah saya orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya sekolah semuda mungkin, dipaksakan bisa baca,tulis dan berhitung semuda mungkin, yang berujung pada kejenuhan anak ketika berada pada kelas yang tinggi.

Semua akan indah pada waktunya, jika usia muda dipaksakan untuk menanggung beban kebanggaan orang tua terhadap predikat “masih muda sudah bisa baca dan hitung”, lambat laun kejenuhan akan menyebabkan semua berjalan lambat, bagi prestasi dan masa depan mereka. Biarkan mereka berkembang, biarkan mereka tumbuh sesuai periode tumbuh kembang mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun