Mungkin judul di atas sudah sering kita dengar di buku - buku bacaan, seminar, ceramah agama dan acara - acara motivasi di televisi, namun bila dipikir secara mendalam memang benar adanya, dalam hidup ini tidak ada yang mutlak, semua bisa berubah, tergantung pada perilaku manusia yang menajdi penyebab perubahan itu sendiri dan tentu saja tangan Tuhan yang tidak terlihat yang juga turut campur di dalamnya.Â
Kenapa saya panjang lebar membicarakan topik ini ? karena kemarin saya mengunjungi psikolog untuk melakukan konseling, ya, saya dilanda stres yang berkepanjangan yang berujung pada psikosomatis karena saya sadar bila saya pribadi tidak mampu mengatasi masalah saya, mungkin dengan banyuan orang lain bisa mendapat setitik pencerahan.
Sesi konseling saya berlangsung cukup lama dan intens, di sana saya menceritakan suka duka saya sampai pada masalah yang membuat saya stres. Sang psikolog mendengarkan dengan seksama setiap cerita yang saya utarakan. Dari sekian babak cerita saya, sang psikolog menyimpulkan bahwa stres yang saya alami memang suatu reaksi pertahanan tubuh dari "stressor" (akar penyebab stres). Jadi, walaupun saya mengambil jarak dan off sementara dari semua kegiatan untuk "healing", namun selama stressor ini tidka di atasi saya akan kembali merasalan efek psikosomatis sebagai tanda atau alarm pertahanan tubuh terhadap beban stres yang mendera mental.
Solusi untuk mengatasi kondisi ini ada dua cara, pertama saya bertahan dengan stressor dengan efek samping saya akan mengalami psikosomatis atau yang kedua, saya melepaskan diri dari stressor ini, yang merupakan "trigger" dari stres yang saya alami. Pilihan yang sulit, karena masing - masing mempunyai resikonya sendiri, namun, kembali pada pemahaman bahwa hidup sejatinya masalah pilihan dan patuh pada konsekuensinya.
Stressor saya adalah lingkungan kerja yang tidak membuat saya berkembang, bahkan membuat saya jatuh hingga titik terbawah sehingga performa saya menurun drastis, di sisi lain, bila saya melepaskan dari stressor ini, hal ini berarti saya akan kehilangan pekerjaan, seperti makan buah simalakama memang, tidak ada yang enak dari kedua pilihan itu, namun, hati kecil saya berteriak bahwa saya berhak berkembang dengan baik dan bahagia, menjadi diri saya seutuh nya seperti dulu dengan segudang energi dan kepercayaan diri.
Mengatasi rasa takut bila memilih opsi yang kedua adalah PR saya yang harus segera saya atasi, bila bukan kita sendiri yang menghargai dan menyayangi diri kita, lalu siapa lagi ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H