Selama pandemi Covid-19, kurang lebih hampir 2 tahun lamanya, pemerintah sudah memberikan solusi akan adanya pandemi yang ganas ini, dengan menerapkan sistem belajar online pada Mahasiswa, baik dari paud/TK, SD, tingkat SMP maupun SMA, SMK, MA.
Bahkan segala aktifitas yang ada serba online, baik pengajian di online, seminar di jadikan webinar, dan belajar dirumahkan, rapat di online kan. Serasa jenuh menatap Handphone seharian rasanya memang begitu melelahkan.
Dari mulai sekolah di liburkan tapi masih daring dirumah masing-masing. Dari mulai harus cari sinyal hanya demi nilai. Dari mulai beli kuota demi bisa belajar. Dari mulai harus bangun tepat waktu hanya demi absensi, dan demi berpusing-pusing mengerjakan tugas deadline hanya demi mendapatkan nilai plus.
Tulisan ini saya tulis sebagai rasa perihatin penulis dan juga temen-temen yang mungkin merasakan hal yang sama, baik itu Mahasiswa ataupun dosen. Mungkin temen-temen itu tahu apa makna dari semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani bisa diartikan.
Guru di depan memberikan contoh atau sebagai panutan, di tengah membangun kemauan atau niat, dan di belakang memberikan dorongan atau semangat. Tapi realita yang ada justru belajar selama pandemi itu terasa garing.Â
Bagaimana tidak garing, Mahasiswa-mahasiswi di tuntut untuk terus mengerjakan tugas, padahal pada nyatanya dia itu garing, haus akan waktu istirahat bahkan rela begadang hanya demi tugas-tugas yang diberikan.
Bukan memberikan semangat justru malah memberi tugas banyak, dengan batas deadline singkat padat dan akhirnya kurang semangat. Baru saja satu tugas datang, tumbuh lagi bibit-bibit tugas baru, serasa seperti tanaman saja, bukan menghasilkan buah manis jutru menghasilkan sesuatu buah yang jutru sangat pahit.
Waktu dalam sehari hanya 24 jam bukan waktu yang sangat lama, apa lagi Ramadhan tahun ini, tentu waktu menjadi singkat bukan hanya untuk perkuliahan saja tapi untuk menjalankan ibadah seperti puasa, mengaji, berbuka dan sholat tarawih.
Coba sekali lagi mari tengok, dan kita dalami lagi makna dari semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani bisa diartikan Bahwa guru itu di depan memberikan contoh, di tengah membangun niat, di belakang memberikan semangat.
Bahkan sudah 10 hari mendekati idul Fitri, Mahasiswa masih merasakan garing gara-gara daring, makna belajar jadi membosankan karena semua serba online, seharusnya penyambutan hari raya idul Fitri di sambut dengan kenyamanan, tapi justru garing karena memikirkan tugas yang bertimpa-timpahan.
Bagaimana nasib anak rantau kalau begini? Karena tidak semua mahasiswa-mahasiswi itu rumahnya di bekali dengan sinyal yang stabil.
Mau pulang bertemu keluarga di kampung halaman, jadi kurang tenang karena fikiran melambai-lambai dan melayang tanpa kepastian, bahkan jadwal libur tidak kunjung datang, tapi tugas terus menerus berhamburan.
Harusnya hari libur tanggal merah menjadi andalan rebahan, sekarang ini selama pandemi jadi garing, serasa tidak ada waktu untuk libur, tanggal merah pun tetep saja kuliah, bukankah faktanya begitu? Inilah beberapa curhatan Mahasiswa dan Mahasiswi, tapi juga di rasakan oleh dosen ataupun seorang guru.
Masih mending kita, bisa kuliah sambil rebahan, sedangkan dosen kita, harus mengurusi banyaknya kewajiban, dari pagi bahkan sampai sore harus full berada di kampus meskipun pandemi, mengurusi banyaknya mahasiswa baik yang maba maupun yang skripsian.
Coba kita kembali bercerita dengan curhatan para dosen. Selama pandemi ini dosen harus rela mengurusi anak-anak nya, dari mulai harus bangun subuh, memasak, mengoreksi tugas-tugas kuliah, belum lagi harus mempersiapkan materi untuk setiap perkuliahannya.
Dan satu dosen bukan hanya memegang satu angkatan, bahkan bisa saja memegang 2 sampai 3 angkatan bahkan lebih. Coba sini para mahasiswa-mahasiswi turunkan egois kalian.
Dosen itupun punya kampung halaman, bukan hanya Mahasiswa-mahasiswi saja yang punya tempat untuk berpulang. Mereka juga masih memiliki orang tua dirumahnya, bahkan informasi beredar bahwa dosen tidak di perbolehkan untuk mudik.
Dosen juga, punya kendala sinyal bukan hanya kita saja yang merasakan, bahkan dosen juga harus menatap Hanphone seharian.
Kembali keperkara tugas, belum lagi tugas dari masing-masing kewajiban dosen demi meningkatkan mutu dan kualitas kampus, harus mengabdi pada masyarakat, mengisi di berbagai materi webinar maupun seminar, baik online maupun offline, dan sibukan dengan membimbing skripsi para mahasiswa, sekaligus disibukkan dengan penelitian-penelitianya.
Jadi saya harap, siapapun kalian yang membaca ini bisa saling menyadari dan mengerti tanpa saling menyalahkan. Kita di timpa pandemi Covid-19, virus yang kecil saja sudah banyak mengeluh apa lagi jika Allah turunkan virus yang besar? Mungkin manusia banyak yang tidak sanggup untuk menghadapi kenyataan hidup yang ada.
Sejatinya hidup itu susah, hidup itu penuh dengan rintangan dan tantangan, percayalah setelah datang kesusahan ini, pasti akan datang kebahagiaan setelah musibah ini.
Mari budayakan saling mengerti dan saling memahami, bahwa kita itu seorang pendidik, mungkin kita selama ini banyak menyalahkan guru/ataupun dosen kita. Tapi ketika kita sudah lulus sarjana dan berganti gelar bukan menjadi pelajar tapi seorang guru. Mungkin disaat itu kita baru menyadari betapa serba susahnya jadi seorang guru yang selalu di salahkan Mahasiswa-mahasiswinya.
jangan memikirkan susahnya kalian dalam belajar, tapi juga fikirkan dan renungkan kembali bagaimana perjuangan susah dan payahnya menjadi seorang guru maupun dosen. @umisa._
.
.
.
#2Mei2021
#SelamatHariPendidikanNasional
Simak Perjuangkan Seorang Guru : https://youtu.be/oHNePYesZl4
Referensi :
Ide dari Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H