Sekali lagi guula pula yang disalahkan karena terlalu banyak, hingga "Rasa" kopi menjadi manis bagi penikmat.
Akan tetapi jika takaran kopi dan gula seimbang, sehingga rasa yang tercecap menjadi nikmat di lidah dan rasakan sensasi kopi nikmat. Lalu siapakah yang di puji.
Tentu semua akan berkata: "kopinya mantaaap
Kemana gula, yang selama ini mendampingi dengan sabar berbaur dengan air panas dan pahitnya kopi hitam?Â
Lalu dimana gula, yang selama ini larut bersama keseruannya saat diaduk penikmat?Â
Gula dilupakan penikmat padahal ia yang mempunyai andil membuat "rasa" kopi menjadi mantaaap!
Itulah guru yang ketika "rasa" terlalu manis maka dia akan dipersalahkan. Apakah ini adil?
Itulah guru yang ketika "rasa" terlalu pahit maka dia pula yang akan dipojokkan, seakan tak berdaya apapun, hingga takut menegur siswa yang bersalah. Seperti kasus yang telah beredar selama ini. Guru harus dilindungi secara nyata.
Tetapi, ketika "rasa" mantap, karena takaran dianggap tepat. Misalnya ketika siswa berprestasi, memiliki perjalanan manis dan usaha guru setiap waktu maka orang tualah yang akan menepuk dadanya seraya berucap "Anak siapa dulu"
Keikhlasan seperti Gula yang larut tak terlihat tapi sangat bermakna. Layak dicontoh dan kehadiran selalu dinanti.
Gula pasir memberi rasa manis pada Kopi, tapi orang menyebutnya kopi manis namun bukan kopi gula. Karena itulah tidak dilihat
Gula Pasir memberi rasa manis pada teh misalnya, tapi orang menyebutnya teh manis bukan teh gula.
Orang menyebut Roti mani bukan ROTI GULA karena gula tak dilihatnya.