Oleh: Umar (PhD in Education, Monash University)
Menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani, mewacanakan sebuah program untuk mendatangkan guru dari luar negeri sebagai tenaga pengajar untuk para guru di Indonesia. Program ini dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru karena tenaga pengajar asing dianggap memiliki kompetensi yang lebih baik dibandingkan dengan guru lokal.Â
Kebijakan ini dianggap lebih efisien ketimbang mengirim mereka untuk plesiran dengan modus mengikuti program training di luar negeri yang menurut pandangan saya kedua program ini menghabiskan anggaran yang terlalu banyak dengan hasil yang bisa jadi kontraproduktif.
Saya mendasari kritikan saya pada tiga aspek. Pertama, dunia pengajaran (pedagogical practice) tidak sekedar hanya persoalan transfer keilmuan yang berhubungan dengan mata pelajaran. Mengajar adalah skill yang merupakan aktifitas sosiokultural yang melibatkan banyak aspek seperti psikologis, politik, budaya, ideologi, hingga agama.Â
Yang menjadi pertanyaan, sejauh mana trainer asing mampu memahami kompleksitas politik dan sistem pendidikan di Indonesia dengan segala keunikannya. Sebuah metodologi pembelajaran yang efektif digunakan di Eropa belum tentu cocok dan dapat diterapkan dengan sistem sekolah di Indonesia.Â
Penerapan sebuah metode akan berbeda disetiap konteks. Maka dari itu seorang guru yang memiliki kompetensi pedagogis yang baik tidak hanya dilihat dari kemampuannya menguasai mata pelajaran yang diajarkan, tetapi dilihat juga dari aspek kemampuan guru tersebut dalam mengorganisir kelas dan menerapkan metode yang tepat untuk siswa yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Sayangnya, uji rekruitmen dan kompetensi guru hanya mengukur pengetahuan tentang mata pelajaran yang diajarkan ketimbang kompetensi pedagogis itu sendiri. Kompetensi pedagogis inilah yang kemungkinan akan sulit didapatkan oleh para guru lokal dari trainer asing yang belum tentu lebih paham tentang seluk beluk dan kontadiksi yang terjadi pada sekolah, kurikulum, sistema ujian, aturan, hingga karakter siswa Indonesia.Â
Sebagai contoh, trainer asing akan lebih mudah menerapkan pembelajaran interaktif ditunjang oleh teknologi dengan karakteristik siswa yang lebih mandiri seperti yang banyak dilakukan di negara maju. Faktanya, dalam riset saya, saya menemukan dilema guru dalam menerapkan kurikulum 2013 yang lebih interaktif karena mereka harus mengajar siswa yang serba kekurangan dalam hal kompetensi dasar. Mereka diharuskan mengajar materi pada level SMA sesuai mandat kurikulum sementara kebanyakan siswa tidak khatam dengan pelajaran dasar level SMP bahkan SD.
 Itu dikarenakan sistem sekolah di Indonesia yang mendorong siswa naik level sekalipun tidak menguasai materi pelajaran pada jenjang sebelumnya. Pembelajaran interaktif dalam konteks sekolah di Indonesia memiliki tantangan yang berbeda dengan apa yang dihadapi di negara maju. Contoh dilema seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mendatangkan trainer asing atau mengirim guru lebih banyak untuk mengikuti pelatihan singkat di luar negeri.
Pembelajaran interaktif dapat dilakukan jika guru mampu memahami kondisi dan karakteristik siswanya dan meracik metode yang tepat. Kemampuan guru untuk menciptakan metode yang sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang mereka alami dapat diperoleh dengan mendorong mereka untuk melakukan refleksi melalui riset dikelasnya masing-masing.Â
Mengajar lebih dari sekedar mentrasfer ilmu. Mengajar yang efektif membutuhkan skill guru untuk memahami masalah dan meramu solusi yang tepat. Sebagai contoh, kita banyak menemukan guru yang menguasai mata pelajaran yang diajarkan tetapi gagal memahamkan siswa tentang materi tersebut.Â
Penjelasan yang disampaikan guru tersebut hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Dalam kondisi seperti ini, guru memiliki kompetensi pedagogis yang rendah karena tidak mampu memahami situasi dan kebutuhan siswa mereka sehingga gagal memberikan pemahaman yang maksimal dalam proses pengajaran. Tentunya tiap penyakit akan berbeda obatnya. Tiap masalah akan berbeda pendekatanya.
Namun, tidak adanya sistem yang memungkinkan guru mengevaluasi dirinya sendiri menyebabkan guru tidak mampu mengetahui masalah dari aktivitas mengajar yang mereka lakukan. Jika memang pengajar asing yang didatangkan tersebut bertujuan untuk melatih dan mengasah kemampuan guru untuk memetakan masalah pembelajaran dan menciptakan formula yang tepat maka kebijakan ini patut untuk didukung.Â
Namun, jika training oleh guru asing bertujuan untuk mengajarkan mata pelajaran yang akan diajarkan atau tata cara mengajar yang baik versi mereka, maka program ini sebaiknya dipikirkan ulang mengingat masih banyak masalah pendidikan yang lain yang lebih prioritas untuk dibenahi ditengah anggaran pendidikan yang terbatas.
Kedua, dari sistem pengembangan guru profesional, tampaknya pemerintah masih memandang guru seperti bejana yang harus di isi. Guru adalah manusia. Mereka bukanlah mesin otomatis dengan memory card yang tertanam di otak mereka.Â
Oleh karena itu, penggunaaan trainer asing untuk peningkatan kompetensi guru adalah ikhtiar yang perlu dipertanyakan. kebijakan ini ibarat mengundang ahli petualang dari Eropa untuk mengajar masyarakat suku dayak pedalaman tentang bagaimana cara terbaik dalam menelusuri hutan Kalimantan agar mereka tidak tersesat dihutan mereka sendiri.Â
Guru lokal lebih memahami kontradiksi yang mereka alami sehari-hari. Yang perlu dilakukan adalah menciptakan sebuah sistem yang mendorong mereka untuk lebih kompetitif dan kreatif agar mereka dapat menciptakan metode pembelajaran yang tepat sesuai anlisis kebutuhan, kondisi sekolah masing-masing, dan tujuan pendidikan nasional.
Rendahnya kualitas guru hendaknya dilihat dari akar masalah tentang bagaimana sistem pendidikan dan pengembangan profesi guru yang menciptakan para guru hingga hari ini. Ketimbang mendatangkan trainer asing sebagai jalan instan meningkatkan kompetensi guru, kenapa pemerintah tidak menciptakan sistem yang kompetitif yang memungkinkan para guru mengembangkan kompetensi mereka secara mandiri.Â
Di negara maju guru memungkinkan didepak dari sekolah jika tidak mampu memenuhi ekspektasi siswa dan sekolah. Sistem inilah yang mendorong para guru untuk terus mengembangkan diri jika ingin bertahan dengan profesinya karena guru sebagai pekerja profesional dibayar mahal sesuai dengan skill yang mereka miliki yaitu mengajar. Guru di negara maju terdorong untuk melakukan riset untuk mengetahui sejauh mana metode pengajaran yang dilakukan benar-benar efektif digunakan.
Sementara di Indonesia guru diakui sebagai profesi akan tetapi banyak guru yang sangat tidak profesional. Guru yang tidak mampu mengajar dan tidak menguasai materi pelajaran tetap saja harus mengajar jika status mereka adalah PNS. Mereka dibayar perbulan karena status bukan karena kemampuan dan skill mengajar yang mereka tunjukkan. Akibat keterampilan pedagogis yang rendah tidak jarang terjadi kekerasan baik itu dilakukan oleh guru ke siswa maupun sebaliknya.Â
Guru PNS di perebutkan di setiap rekruitmen PNS pemerintah karena gaji guru masih lebih baik dibandingakan banyak jenis pekerjaan di bidang lain. Tidak ada sistem reward dan punishment yang memungkinkan guru di nonaktifkan jika tidak mampu menjalankan fungsinya.Â
Tidak ada sistem evaluasi menyeluruh yang memungkinkan guru yang teridentifikasi tidak mampu menjalankan fungsinya diberhentikan dari aktifitas belajar mengajar. Karena sistem inilah guru menjadi tidak kompetitif dan terdorong untuk mengembangkan kompetensi mereka secara mandiri.Â
Dengan tidak adanya sistem yang kompetitif, guru yang masuk kedalam kelas sekalipun hanya sekedar untuk basa-basi akan tetap menjadi guru jika statusnya PNS. Adapun program pemerintah untuk meningkatan kompetensi guru melalui program sertifikasi yang faktanya program ini menghabiskan begitu banyak anggaran tetapi hanya sekedar formalitas yang tidak benar-benar meningkatkan kualitas guru secara signifikan.
Ketiga, dunia telah berubah dalam satu dekade terakhir dimana informasi begitu mudah diakses melalui perangkat yang berbasis online. Siswa dapat belajar secara mandiri dari berbagai sumber sehingga fungsi guru sebagaimana yang ada pada model pembelajaran tradisional ikut berubah.Â
Guru tidak relevan lagi diposisikan sebagai sumber utama yang menyuplai pengetahuan kepada siswa. Melainkan mereka dituntut untuk menjadi fasilitator yang dapat menstimulus siswa untuk mengembangkan skill, pengetahuan, dan kreatifitas mereka. Terbukti, model pendidikan tradisional dimana guru menjadi sumber pengetahuan mutlak gagal melahirkan generasi yang inovatif di segala bidang.Â
Dalam gagasan tentang program training guru lokal oleh pengajar asing, tampaknya pemerintah masih memandang guru sebagai sumber belajar utama bagi para siswa sehingga mereka perlu mendapatkan transfer ilmu dari pengajar asing yang belum tentu lebih paham pendidikan karakter dan masalah yang dihadapi oleh para guru lokal dalam aktivitas pengajaran sehari-hari.Â
Oleh karena itu, para guru lokal seharusnya didorong untuk menjadi kreatif dengan menciptakan model pembelajarannya sendiri melalui riset ketimbang meniru apa yang dilakukan oleh para guru asing yang menerapkan pengetahuan mereka di konteks yang berbeda dari apa yang dialami oleh para guru lokal. "Different pond, different fish", beda kolam beda pula ikannya.
Sebagai kesimpulan, rencana pemerintah yang ingin mendatangkan pengajar asing sebagai trainer untuk guru lokal tanpa membenahi sistem pengembangan guru profesional dan menciptakan sistem yang memungkinkan guru menjadi kreatif dan kompetitif perlu ditinjau ulang.Â
Penulis memandang bahwa pengajar asing dan lokal memiliki relasi kekuasaan hirarkis yang berbeda dimana trainer asing berperan sebagai pemberi dan guru lokal sebagai penerima ilmu. Sehingga guru lokal sangat rentan menjadi peniru yang tidak kreatif. Jangan sampai kebijakan ini justru menjadi pintu imprealisme pedagogis dimana model pembelajaran di negara Barat dipaksakan untuk digunakan di konteks sekolah Indonesia yang memiliki situasi dan kebutuhan khusus.Â
Kita perlu belajar dari belahan dunia lain yang telah memiliki sistem pendidikan yang lebih maju dengan sumber daya guru yang lebih baik. Akan tetapi, kita juga harus memahami kontradiksi dan kebutuhan kita sendiri dan menghadirkan formula yang tepat sesuai dengan masalah yang kita hadapi. Oleh karena itu, yang kita butuhkan adalah sistem yang memungkinkan para guru untuk terdorong mengembangkan diri secara mandiri tanpa ketergantungan pada training yang difasilitasi oleh pemerintah.Â
Sampai kapan pemerintah menyuapi para guru melalui pelatihan jika guru itu sendiri enggan untuk mengembangkan kompetensi bidang ilmu dan pedagogis yang mereka miliki. Sekali lagi, guru bukan bejana, bukan mesin otomatis. Mereka adalah manusia yang punya potensi untuk mengembangkan diri dan pemerintah seharusnya menjadi stimulator melalui sistem yang diciptakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H