Mohon tunggu...
Umar Soleh
Umar Soleh Mohon Tunggu... Lainnya - karyawan swasta

Daku hanyalah semi kerdil, dari bebijian diantara bebijian lainnya. Daku sekedar penjaja sulaman kata dan pemain gaung rima

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kita Tidak Bisa Menjamu

11 Maret 2013   09:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:59 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Akhir-akhir ini ibuku entah mengapa.
Perasaan ada saja yang membuat dia naik pitam.
Apalagi kalau ditanya bayaran sekolah.
Mendingan di tunda dulu, karena suasana belum kondusif.
Oh, ya mungkin memang akhir-akhir ini kita dalam masa-masa sulit.
Pengeluaran banyak, tapi penghasilan ayah tidak cukup untuk mengcover semuanya.
"Pak, aku heran sama tetanga-tetangga kita?"
Ibuku menghampiri Bapak yang sedang menikmati segelas kopi di bale.
Aku dapat amati muka ibu, ditekuk.
Sedang menyimpan kekecewaan sepertinya.
"Heran kenapa sih, Bu?"
Bapak menanggapi santai apa yang ibu keluhkan.
"Bayangkan saja Pak, pas kita lagi berkecukupan mereka sering-sering main ke rumah kita untuk dijamu.
Terus sekarang ketika kita lagi kesusahan tidak terlihat tuh batang hidung mereka."
Nada ibu agak meninggi sekarang, aku hanya mengamati tanpa mampu berkomentar.
Aku fikir ini memang urusan orang tua.
"Yah, ibu sesekali yang keluar dong..
Biar dapat dilihat batang-batang hidung mereka."
Bapak menangkap perasaan ibu, hanya saja Bapak masih bersikap tenang menanggapinya.
"Bagaimana mau keluar Pak, uang buat ke warung juga tidak ada.
Harusnya mereka merasa, dan setidaknya berkunjung menanyakan kenapa sih Bu, tidak ikut ngisi arisan?."

"Bu, mereka semua tahu sifat kita.
Siapapun yang bertamu pasti akan kita jamu.
Jadi wajar jika mereka tida berkunjung akhir-akhir ini."

"Wajar bagaimana, Pak?"

"Yah wajar, mereka tahu saat ini kita tidak mampu menjamu, jadi mereka tidak berkunjung, karena tidak ingin menyusahkan kita."

"Hmm, begitu yah, Pak."

"Wah, bijak juga Bapakku."
Begitu gumamku dalam hati.
Bapak tidak hendak berprsangka yang buruk-buruk pada tetangga, apalagi kita belum lama di sini.
Memang karena sikap dermawan keluarga kami, para tetangga sangat senang berkunjung.
Aku juga berfikir, mungkin juga kondisi tetangga saat ini tidak jauh dari kondisi keluargaku sekarang.
Tentu mereka akan malu berkunjung, dan memberatkan kami yang tak bisa menjamu mereka.
(Tse)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun