Mohon tunggu...
Umar Karim
Umar Karim Mohon Tunggu... -

Politisi dan pemerhati demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pentingnya Uji Publik Istri Calon Kepala Daerah

5 Januari 2015   21:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:45 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Umar Karim

“Tak Hanya Calon  Kepala Daerah,

Isteri Calon Pun Harusnya Diuji Publik Agar Kelak Kita Tak Ikut

Mendendang lagu Cita Citata, Sakitnya Tuh’ Di Sini”

Premis pendek itu saya tuliskan dalam status facebook sekedar lontaran wacana yang mencoba mendiversifikasi adanya norma baru yang mengharuskan Calon Kepala Daerah diuji publik. Tak biasanya, status Fb ini kurang mendapatkan klik like, justeru beberapa pihak menuding saya sangat ekspansif dengan gagasan itu. Bahkan dianggap saya punya agenda sistematis hendak meng-character assassination calon tertentu agar gelora dendam saya kepada seseorang terlampiaskan.

Terlepas soal benar tidaknya bahwa gagasan itu sudah pada eskalasi luapan dendam, namun sesungguhnya topik ini terasa pas  menjadi diskursus baru menyusul telah diterbitkannya Perpu No. 1 tahun 2014 yang mengharuskan Calon Kepala Daerah melalui tahapan uji publik dalam Pilkada. Sehingga saya pun terpantik untuk mencoba “mengutak-atiknya” dengan kembali menulis setelah sekian lama saya berkubang dalam“pergulatan” politik.

Pilkada sebagai sebuah instrument yang diharapakan mampu melahirkan pemimpin yang kuat dan berkarakter serta memiliki kemampuan menyeret rakyat pada kemajuan dan kesejahteraan akan tetapi kadangkala pada  prakteknya antara harapan dan kenyataan yang ada  memiliki disparitas yang menganga. Tak ubahnya jauh panggang dari api. Jika ditilik lebih dalam sesungguhnya keadaan seperti ini tak selamanya diakibatkan oleh rendahnya kapabilitas individu sang pemimpin akan tetapi biasanya disebabkan berbagai faktor eksternal yang teramat kuat mengintervensi.

Misal, selama ini konsentrasi publik praktis hanya terpusat pada kepala daerah dan hampir-hampir tak memperhatikan isteri dari kepala daerah itu sendiri. Padahal isteri kepala daerah kedudukannya begitu penting dan strategis dan sebagai entitas terunggul dari kekuatan intervensi eksternal tadi.

Dalam sejarah pemerintahan di beberapa Negara berderet potret buram dominasi seorang isteri atas jabatannya suaminya. Sebut saja Elena Ceausescu yang menjerumuskan suaminya Nicolae Ceausescu Persiden Rumania menjadi seorang diktator hingga suami isteri itu tewas diujung bedil pengadilan rakyat. Demikian pula pengaruh Imelda Marcos atas suaminya  Ferdinand Marcos, Presiden Filipina. Saking kuatnya pengaruh sang Madame, istana Malacanang tak ubahnya sebuah gerai sepatu branded koleksi sang isteri Presiden. Akibatnya diakhir hayat dari kekuasaan mereka, Imelda lari terbirit-birit diusir rakyat dari istana dengan hanya sempat membawa sepasang sepatu. Itupun sebelah sepatu high heels milik sang ibu negara terlepas saat diefakuasi dengan helikopter.

Bahkan Amerika Serikat sebagai Negara moyangnya demokrasi harus mengakui pengaruh Nancy Davis Reagan dalam pemerintahan federal Amerika meski Nancy tidak menduduki jabatan struktural pemerintahan dan bukan pemimpin yang dipilih dari sebuah proses pemilu yang demokratis akan tetapi hanya karena kebetulan Nancy adalah isteri dari Ronal Wilson Reagan, Presiden Amerika. Begitu berpengaruhnya Nancy, konon diyakini melebihi hegemonik Konggres, sebuah lembaga Negara gabungan dua institusi perwakilan rakyat dari sistem bikameral, yakni Senat  dan House Of Reprersentative, setara MPR di Indonesia.

Tak tanggung-tanggung isu itu hingga terdengar sampai seantero dunia, Umar Kayam pun dalam bukunya Mangan Ora Mangan Kumpul, ikut menyindir peran Nancy Reagan ini dengan sebutan “Kitchen Kabinet”, “kabinet  dapur” dalam personifikasi karakter Mr. Rigen dan Mrs. Nasiyem.

Sebenarnya hubungan simbiotik antara suami dan isteri tak selamanya buruk, banyak contoh berserahkan bagaimana peran isteri mampu menopang kesuksesan seorang suami. Akan tetapi apapun alasannya, fakta menunjukan bahwa keberadaan isteri yang sehari lebih delapan jam sekasur dengan suami tentu menjadikan pengaruh isteri akan sangat kuat dan strategis. Sehingga ketika sang suami memiliki jabatan dan kekuasaan maka selera isteri akan berasimilasi dengan keinginan suami dan kohoren menjadi keinginan bersama.

Dalam konteks lokal, barangkali konklusi paling tepat mendeskripsikan fakta atas kuatnya pengaruh isteri seorang Kepala daerah adalah dengan kalimat “pendapat seorang isteri yang dibisikkan kepada Kepala Daerah di atas Springbed empuk akan begitu kuat pengaruhnya dalam implementasi kebijakan pemerintahan dibanding interupsi lewat pengeras suara anggota parlemen di DPRD”.

Sebelumnya dalam ketentuan yang mengatur sistem pemerintahan daerah kedudukan isteri Kepala Daerah hampir tak diatur. Ketentuan yang berhubungan dengan isteri nanti muncul pada Perpu No. 1 Tahun 2014 yang mengganti UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang salah satu diktumya mengatur larangan isteri kepala daerah petahana untuk mencalonkan diri sebagai  kepala daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf q Perpu No. 1 Tahun 2014. Itupun kata “isteri” tidak disebut eksplisit, UU dengan “malu-malu” hanya memasukkannya  dalam kelompok orang yang “memiliki konflik kepentingan”.

Meski tak banyak diatur  tapi pada prakteknya disamping memiliki pengaruh terhadap suami, juga  menjadi sebuah kelaziman dalam system pemerintahan daerah bahwa isteri seorang kepala daerah ex officio menduduki jabatan strategis seperti menjadi Ketua PKK dan ketua pada jabatan lainnya.

Karena kedudukan isteri kepala daerah menjadi ketua PKK, maka tak mengherankan jika selama ini kadang kala kita menggelengkan kepala ketika sering kali melihat begitu besar anggaran dari APBD yang dialokasikan untuk PKK meskipun anggaran itu tidak kuratif menyelesaikan masalah perempuan yang diwadahi oleh oraganisasi PKK tersebut. Bahkan beberapa waktu lalu di salah satu Daerah PKK tetap mendapatkan anggaran hanya untuk makan minum saja sebesar 1,6 milyar meski ditentang oleh anggota DPRD.

Tak hanya itu, kenyamanan protokoler ikut disediakan Negara, isteri kepala Daerah  mendapatkan fasilitas untuk duduk di jok empuk mobil berpelat merah, plus sespri, sopir dan tunjangan bahan bakar minyak. Bahkan kode nomor registrasi mobil dinas isteri kepala daerah biasanya angkanya lebih kecil dan lebih ”terhormat” dibanding kode registrasi mobil dinas Wakil Ketua DPRD yang nota bene kedudukan Wakil Ketua DPRD legalitasnya kuat karena dipilih rakyat melalui Pemilu.

Konstatasi fakta dari uraian di atas mungkin sudah lebih dari cukup untuk koheren atas alasan betapa penting dan strategisnya kedudukan seorang isteri kepala daerah sehingga menjadi relevan gagasan untuk mendudukan seorang isteri calon kepala daerah harus setara dan konkruen dengan calon itu sendiri dalam pencalonan di Pilkada.

Pada hematnya seorang calon kepala daerah tidaklah penting untuk melawati tahapan uji publik oleh Tim yang dibentuk untuk itu sebagaimana kehendak dari Pasal 38 Perpu No. 1 tahun 2014 karena pada dasarnya uji publik yang sesungguhnya akan dilakukan oleh rakyat secara langsung  terhadap calon ketika di bilik TPS. Justeru isteri calon yang tidak ikut dipilih tapi memiliki kedudukan yang hampir setara dengan calonlah yang harus diuji publik agar rakyat memperoleh tambahan refrensi sejauh mana integritas, moral dan kapasitas yang bakal menjadi first lady daerah itu.

Uji publik pun bukan dalam perspektif deret hitung tapi nilai ukur. Jika terdapat calon kepala daerah yang memiliki isteri lebih dari satu bukan jadi soal, sebab uji integritas, moral dan kapasitas adalah bicara kwalitas bukan permasalahan jumlah. Kendati pun isteri calon misalnya berjumlah 5, 6 atau 7 akan tetapi jika isteri-isteri itu punya integritas, moral dan kapasitas maka akan lebih baik jika dibandingkan hanya 1 isteri tapi integritas, moral dan kapasitasnya sudah tereduksi, atau pun sebaliknya.

Menjadi sebuah pelajaran yang cukup berharga ketika tahun 2013 publik dikejutkan oleh berita media http://life.viva.co.id/news/read/463607 yang merilis isteri seorang kepala daerah malakukan perselingkuhan. Bagaimana mungkin sang isteri bisa setia dan memperhatikan rakyat suaminya jika suaminya sendiri tega dikhianati. Tentu kejadian itu membuat ekspektasi rakyat di daerah itu terhadap pemimpin yang berintegritas berakhir dengan kekecewaan. Dalam peristiwa seperti itu rakyat pun hanya bisa mendongkol, selebihnya tak bisa berbuat apa-apa karena secara formal isteri bukan bagian dari kepala daerah yang dipilih oleh rakyat.

Tetapi akan jadi berbeda jika pada masa pencalonan isteri seorang calon kepala daerah mejadi bagian yang tak terpisahkan dengan calon itu sendiri untuk diseleksi meskipun sistem takarnya berbeda. Calon Kepala daerah diuji oleh rakyat secara langsug sedangkan isteri calon cukup hanya diuji publik.

Uji publik isteri calon kepala daerah dipastikan sebagai prosedur yang bisa menjadikan isteri kepala daerah yang kelak terpilih nanti akan memiliki integritas, moral dan kapasitas yang telah teruji serta akan memiliki kepekaan “sense of belonging” dengan rakyat yang memilih suaminya.  Sehingga paling tidak dengan sistem proteksi seperti itu, jika suatu ketika kita ke Singapur tak akan bersua dengan isteri kepala daerah yang sekedar pedicure dengan lifestyle-nya di salah satu mall di Orchard atau memorgokinya sedang bergandengan  tangan dengan bukan muhrimnya. Rakyat pun akan mendapatkan first lady yang anggun dan terhormat serta sang calon ketika terpilih menjadi Kepala Daerah tak harus menepuk dada sambil mendendangkan lagu Cita Citata “sakitnya tuh’ di sisni” dan kita pun tak perlu ikut bergoyang.

Penulis :     Politisi dan Pemerhati Demokrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun