[caption id="attachment_71920" align="alignleft" width="300" caption="Pohon Duit"][/caption] "Kami tidak pernah menunggak pajak, tetapi hanya persoalan sengketa. Itu pun menjadi urusan pengadilan," "Bisnis ini persoalan investasi bukan persoalan politis. Kami melakukan bisnis dengan transparan sesuai dengan hukum yang berlaku," Menyikapi aksi demo yang dilakukan sejumlah mahasiswa di Wisma Bakrie, Senin 8 Januari, pihaknya menuding demo tersebut salah sasaran. Sebab, kata dia, persoalan perusahaan tidak bisa dikaitkan dengan pribadi Aburizal Bakrie. "Tak ada yang salah dengan pidato Presiden. Pemerintah memang harus menindak perusahaan yang mengemplang pajak," ujar Aburizal Bakrie melalui juru bicaranya Lalu Mara Satria Wangsa yang juga menjabat Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar. (okezone.com) Bunyamin Saiman, Ketua Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia, menilai isyarat tegas Yudhoyono itu ditujukan kepada pelaku pengemplang pajak yang saat ini menjadi lawan politiknya. Adalah Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar, yang tiga perusahaan tambang batu bara miliknya tengah dibelit kasus dugaan penggelapan pajak senilai Rp 1,2 triliun. Golkar merupakan salah satu partai pengusung bergulirnya Panitia Angket Century di Dewan Perwakilan Rakyat, yang bisa berujung pada pemakzulan pemerintah yang berkuasa. (Tempointeraktif.com) Kisah ini bermula di bulan Desember 2009, Direktorat Jenderal Pajak mengungkapkan adanya dugaan kurang bayar pajak atas tiga anak usaha Kelompok Bakrie pada sektor pertambangan batu bara, a.l. PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources Tbk, dan PT Arutmin Indonesia. Total dugaan kurang bayar pajak tiga perusahaan tersebut diperkirakan mencapai Rp 2,1 triliun. Menyikapi tuduhan tersebut, pada 18 Januari lalu PT Kaltim Prima Coal melalui kuasa hukumnya melayangkan permohonoan praperadilan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait kasus tersebut. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, para pengemplang pajak yang berpotensi merugikan keuangan negara dapat dijerat dengan pasal korupsi. Karena itu, KPK harus mempertimbangkan penangani kasus pengemplang pajak yang nilainya sangat besar. Menurut Peneliti Hukum Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah, jika dalam kasus pengemplang pajak ditemukan unsur kerugian negara dan perbuatan melawan hukum serta melibatkan penyelenggara negara maka KPK tidak boleh ragu untuk menangani. ‘’Selama ini KPK selalu terjebak dalam kerangka pikiran bahwa kerugian negara akibat ada pengurangan atau perampokan keuangan negara,’’ ujarnya di Gedung KPK, Senin (8/2). Padahal, lanjutnya, pemasukan negara (pajak) yang tidak disetorkan juga bisa dianggap sebagai kerugian negara. Sebelumnya, ICW mengungkapkan bahwa PT Bumi Resources Tbk harus menyetorkan penerimaan negara lebih dari Rp 2,1 triliun. Perhitungan ulang yang dilakukan ICW terhadap laporan keuangan PT Bumi Resources Tbk tahun buku 2003-2008 yang telah diaudit menunjukkan adanya selisih hasil penjualan serta kekurangan pembayaran royalti dan pajak penghasilan pada tahun 2008. Sehingga total nilai kewajiban yang harus dibayarkan oleh perusahaan batubara milik Aburizal Bakrie mencapai Rp 11,4 triliun. Atas temuannya tersebut, ICW menilai PT Bumi Resources Tbk telah melakukan manipulasi pajak. (Suara Merdeka Cybernews) Kemarin, Selasa (09/02) majelis hakim PN Jakarta Selatan menolak permohonan gugatan praperadilan yang diajukan KPC atas proses penyidikan yang dilakukan Ditjen Pajak. Dengan demikian, Ditjen Pajak tetap bisa melanjutkan proses penyidikan dugaan tindak pidana yang dilakukan KPC dengan nilai kerugian negara sebesar Rp. 1,5 triliun itu. (Bisnis Indonesia) Di beberapa forum diskusi (Tempo Interaktif, Detik Forum, Kompasiana, Kaskus, dll), ada beberapa komentar yang menarik untuk diangkat dalam tulisan ini, antara lain bahwa di ranah perpolitikan, ada yang namanya "Up and Down Intrict." Yakni, sebuah kasus bisa tiba-tiba mencuat kepermukaan untuk menutupi kasus lainnya, begitu juga sebaliknya. Maksudnya, sebuah Kasus bisa di tenggelamkan dengan mengangkat isu kasus lainnya. Dalam kasus century contohnya, yang di ekspos besar-besaran melalui berbagai media, dengan didukung oleh narasumber yang berseberangan dengan pemerintah. Terkesan sengaja diarahkan untuk memposisikan seakan-akan SM dan Boed sudah sebagai "terdakwa", padahal pembuktian secara hukum belum dilakukan. Tetapi kenapa "Opini Masyarakat" sudah sedemikian kuat tergiring seakan-akan SM dan Boed sudah menjadi "maling" yang boleh dihakimi. Dalam tulisan saya sebelum ini tentang "Kekuatan Media dalam Membangun Opini Publik", ada saya singgung peran Konseptor dan "Kekuatan Media" yang mengembangkan opini tersebut, sehingga masyarakat terdokrin bahwa SM dan Boed adalah "maling" dalam kasus ini. Berbeda halnya dengan kasus pengemplangan pajak yang terjadi. Beberapa waktu yang lalu, kasus ini seakan-akan sengaja di tenggelamkan pemberitaannya, sehingga masyarakatpun kurang bisa mendapatkan Informasi ini secara proporsional, karena ada semacam "Down Intrict" yang dilakukan dengan dukungan kekuatan-kekuatan media. Sebagai contoh, Apakah TVOne pada hari Senin (08/02/2010) menayangkan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa di depan Gedung Wisma Bakrie yang mengusung gambar drakula Aburizal Bakrie? Padahal di kanal lain, di MetroTV, berita-berita ini bisa sama-sama kita saksikan, bahkan disiarkan secara berulang-ulang. Tetapi dalam kasus Bank Century, TVOne sebegitu seringnya menyiarkannya, bahkan dapat kita saksikan dalam setiap penayangannya hampir selalu menghadirkan narasumber-narasumber dari kubu yang berseberangan dengan pemerintah (azas keberimbangan berita?). Ada apa? Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang. Hal ini menunjukan bahwa kekuatan media yang dimiliki pihak-pihak yang berkepentingan mempunyai andil dalam "Up & Down intrict". Ditengarai oleh para pengamat jalanan yang tidak memiliki kepentingan politik ataupun kekuasaan. Trik-trik semacam ini terkesan telah terkemas rapi sebelumnya, dengan tujuan untuk mempengaruhi opini publik. Sehingga pihak yang terpojokan bisa terselamatkan dari vonis masyarakat. Maka, jadilah "Good news is not news, bad news is good to be news" Nah, di urusan pengemplangan pajak, banyak yang pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu. Tetapi giliran mengkritik pemerintah, banyak sekali yang tiba-tiba jadi jenius dalam ilmu politik (termasuk menyerang figur/mengolok-olok fisik). Jelas ini bukan sikap yang sehat untuk membangun republik ini, yang masih membutuhkan partisipasi dari segenap komponen rakyat, termasuk dari para wartawan. Lakon “Pansus Bank Century” bukan yang pertama. Sebelumnya ada lakon-lakon lain di "teater" Indonesia seperti "Bibit-Chandra", "Antasari" dan "Prita", dan dengar-dengar katanya masih akan ada lakon "Susno Duadji". Akhir dari lakon-lakon itu tentu saja ada yang memuaskan untuk sebagian penonton dan ada yang tidak, ada yang happy ending, ada yang tidak. Namanya juga teater. Ada yang senang, ada juga yang tidak. (Kompasiana, HUH - 10/2) Selamat menyaksikan lakon-lakon berikutnya ... Salam, H Umar Hapsoro
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H