[caption id="attachment_272990" align="alignleft" width="300" caption="Image : Kabarnet.com"][/caption] Nyanyian Gayus "kembali" berkumandang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Selasa, 28/9/2010), judul lagunya, "30 milyard rp kuterima." Terdakwa kasus mafia pajak Gayus Tambunan, mengakui dalam persidangan bahwa dirinya mendapat uang Rp 30 miliar dari tiga perusahaan Group Bakrie yaitu PT Kaltim Prima Coal (KPC), Bumi Resources, dan Arutmin. Dari PT KPC, Gayus mendapatkan US$ 500 ribu karena membantu mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang ditahan. (detikNews) Siang itu, dalam kesaksiannya untuk terdakwa Andi Kosasih. Gayus mengungkapkan, bahwa uang miliknya yang diblokir penyidik Polri sebenarnya berasal dari tiga pekerjaan yang dilakukannya dalam membantu tiga perusahaan tersebut. Untuk sebuah kasus yang terbilang "super" (pinjam bahasanya Mario Teguh). Tidak semua media mainstream memberitakan nyanyian Gayus itu. Padahal kesaksiannya diucapkan didepan persidangan (saksi dibawah sumpah). Malahan ada media mainstream yang cukup ternama, hanya menyelipkan sedikit berita ini (malu-malu kucing), pada ending reportasenya. Aneh ya? Beberapa pakar hukum mengatakan, "kesaksian dibawah sumpah dihadapan majelis hakim, itu dapat dijadikan alat bukti." Lantas, terlalu berhati-hatikah media mengangkat kasus ini? Atau sumber beritanya yang masih perlu di mintai konfirmasinya (cover both side)? Aneh memang? Saya bahkan sempat berkomentar disalah satu artikel disini, saya tulis, "Setidaknya masih ada MetroTV yang berani memberitakan bencana semburan lumpur Lapindo, dan mengungkapkan kasus Gayus disuap Group Bakrie, atau masih ada tvOne yg berani mengangkat berita "Kasus gaji karyawan Hotel Papandayan Bandung milik Surya Paloh yang gajinya belum dibayar" .... And .... Bravo Citizen Journalism ... yang memilih nonton film"  Sempat juga saya tulis dalam salah satu artikel saya disini, bahwa "Kekuatan media bisa digunakan sebagai senjata ampuh untuk mempengaruhi massa (baca: masyarakat). Maka, tidak heran jika para politisi berlomba-lomba menguasai media dalam usaha menggalang dukungan. caranya pun beragam. Disamping bisa digunakan untuk menggalang dukungan, bisa juga digunakan untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya, termasuk melontarkan isu-isu miring alias pembunuhan karakter. Dan, bisa juga dimanfaatkan oleh pemilik medianya, dalam rangka proyek pencitraan alias 'sosialisasi kepentingan."  Semoga wartawan kita selalu tetap berhati-hati, dan "bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk." (HUH.29/9/2010) Sekali lagi, ... semoga, ... semoga, ... dan semoga Salam hati-hati dan semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H